Cita-cita gue gak muluk2, cuma menanamkan benih di rahim Dek Kanaya aja. Nunggu sembilan bulan lalu taraaa... gue jadi bapak paling hots seantero pulau Jawa. Tapi gimana mau bercocok tanam kalau lahannya galak kayak gitu, mana bapaknya Jenderal lag...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Naya itu dunia gue. Bayangkan kalau dunia lo ngambek? Mau hidup di mana? Rasanya kaki gue terombang-ambing nggak bisa napak ke tanah.
"Dek, bukain dong. Mamas mau ngomong!" gue menggombal mesra ke pintu kamarnya. Sampai temen-temennya Naya yang satu wisma bingung, kenapa tiba-tiba ada penampakan cowok cemong muka bengkel sedang merayu daun pintu jati.
Gue cuma meringis kalau dapat tatapan aneh dari penduduk wisma, kasih anggukan terus bilang, "Pacar saya lagi PMS. Biasa."
Terus mereka shock sambil garuk-garuk kepala panen ketombe, "Hah? Pacarnya? Kok bisa?"
Ya bisalah. Semeragukan itukah muka gue kalau disandingkan sama bidadari?
Kanaya kalau udah ngambek susah banget dibujuk rayu. Kayak waktu dulu gue nggak sengaja matahin kepala barbienya. Didiemin sampe ulat bulu berubah jadi kupu-kupu.
Sekarang juga iya, udah dua hari satu malem gue jadi jalangkung di depan kamarnya, datang tak dijemput, pulang tak diantar. Tapi hati Naya nggak juga luluh dan ngemaafin mulut lemes gue. Harus gimana ini biar gue termaafkan?
Oke gue coba cara pertama, pura-pura keselek isi salak.
"Aduh dek, tolong... Mamas keselek! Uhuk.. uhuk.. Mamas mau mati! Nafas buatan..." terus gue pura-pura pingsan.
Derit pintu kamar terdengar, ujung bibir gue sudah menyunggingkan senyum. Asyik.. asyik.. bentar lagi napat nafas buatan. Mamas tau kok dek, semarah-marahnya kamu nggak bakalan tega ngebiarin Mamas tersakiti.
Eh bukannya dikasih nafas buatan, gue cuma dijadiin keset terus Naya cus lanjut ngumpulin data di lapangan.
Huh, nasib.
Berikutnya, gue berinisiatif memberi Naya banyak hadiah. Cewek kan gitu, kalau udah ketemu tas, baju, sepatu, bakalan lupa segalanya. Kayak si Papi kalau lagi jinakin Mami yang marah-marah. Beliin tas dua langsung deh si Papi dibawa ngamar. Sesimpel itu.
Tapi gue lupa, di sini nggak ada butik, apalagi mall. Mau beli sepatu dimana? Yang ada cuma hutan, sungai, dan landasan pesawat terbang. Oke nggak papa, sebagai pria kreatif gue nggak kekurangan akal. Cukup memanfaatkan apa yang ada di sekitar.
Akhirnya gue ngumpulin buah-buahan dan hasil alam. Ada jeruk, jambu, pepaya, singkong, kelapa, sampai bunga cempaka gue sajikan untuk dek Naya tercinta.
Naya cengo, "Ini apa-apaan Mas?" nyawanya kayak udah ilang separuh waktu gue gelar sesajen itu di hadapannya.
"Buat kamu dong dek. Mamas penuh perjuangan loh ini ngambilnya. Pake acara di kejar-kejar monyet sama buaya," gue bohong.
"Buaya? Emang ada buaya?" karena sering nyari data di sungai-sungai mungkin dia was-was.
"Banyak. Tapi tenang, buaya kalau ngejar Mamas pusing. Soalnya Mamas kalau lari zig-zag. Mereka gembrot, nggak lincah meliuk-liuk," gue peragain gaya meliuk-liuk.
