Pagi datang tanpa meninggalkan satu detik pun untuk terlelap. Semalam, gue meninggalkan camp terlebih dulu dan tidur di asrama. Bukan tidur sebenarnya. Hanya mengerjap berkali-kali menatap langit-langit kamar.
Pintu kamar diketuk. Gue tahu persis itu Dareen.
Tidak ingin bertemu dengan lelaki itu, gue menggulingkan badan menatap tembok lalu menenggelamkan diri di bawah selimut.
Pintu terbuka. Bisa gue denger suara langkah kaki lelaki itu mendekat. "Lan," panggil Dareen pelan. Gue diem aja.
"Ada yang mau gue omongin," ucapnya pelan.
Gue menarik nafas panjang kemudian beringsut untuk duduk. "Apa? Mau bilang kalau lo jadian sama Naya?" gue berusaha sok tegar.
Dareen menelan ludah. "Bukan itu," jawabnya.
"Lo tau kan seberapa berartinya Naya buat gue? Kalau lo sampai nyakitin dia-" tangan gue mengepal dan mulut gue mendesis tanpa melanjutkan kalimat itu.
"Iya gue tahu. Dia adalah orang yang berarti buat lo. Gue mau nyampein ini karena gue juga peduli sama lo, Lan!" ujarnya.
"Gue terima kok lo jadian sama Naya. Tapi jangan harap gue diem aja kalau dia kenapa-napa!" kecam gue. Mau gimana lagi? Meskipun gue sakit hati, tapi melihat Naya yang bersedih lebih bikin gue sakit hati. Mau bersanding dengan siapa pun, asalkan dia bahagia, gue akan mengalah.
Dareen mendudukan pantatnya dia atas ranjang gue. Dia menatap gue dengan teduh. Mungkin dia merasa tidak enak hati karena udah buat gue nangis semaleman kayak gadis ditinggal nikah.
"Gue nggak pernah mau nyaingin lo buat dapetin Naya. Tapi gue juga nggak bisa membohongi perasaan gue sendiri. Semalam, gue cuma confess apa yang sebenernya gue rasaian. Gue nggak pernah minta dia jadi pacar gue. Tapi.." dia menghela nafas.
"Tapi dia juga suka sama lo kan?" gue menyahut. "Terus kalian pelukan."
"Lan, dengerin gue dulu," Dareen menyela.
Gue menarik kerah bajunya. "Gue kenal Naya dari kecil. Gue tahu seberapa suka dia sama lo. Pokoknya, lo harus tanggung jawab atas apa yang udah lo confess ke Naya. Gue nggak mau Naya sedih cuma gara-gara di PHP-in atau dimainin sama lo!"
"Lan," Dareen mengambil nafas dalam. "Naya dijemput ayahnya. Dia bakalan balik ke Bandung."
***
Gue berlari sekencang-kencangnya ke arah dermaga. Satu-satunya akses untuk keluar pulau berjarak kurang lebih dua kilometer dari sini. Dengan keringat yang sudah bercucuran, akhirnya gue tiba tepat sebelum kapal ferry itu menyalakan mesinnya.
"Nay!" gue kesetanan mencari keberadaan wanita itu. "Naya!" teriakan gue sukses membuat Om Yah menengok dari kabin nakhoda.
"Lan!" sapanya.
"Om, Naya mana Om?" tanpa menyapa atau bahkan salaman terlebih dahulu gue malah menanyakan keberadaan anak perempuannya.
"Ada itu di dek!"Om Yah menunjuk ke atas.
Memang benar, di sana berdiri seorang wanita yang sedang menatap jauh ke pulau, kemudian tatapannya berganti ke arah gue.
Gue buru-buru berlari menaiki tangga menemuinya.
"Dek," nafas gue terngah-engah.
Naya menatap gue sayu. Kedua matanya terlihat sembab.
"Aku mau pulang, Mas" tuturnya lirih.
"Mamas udah pikirin baik-baik. Mamas nggak masalah kamu mau suka sama siapa aja. Kamu bebas menentukan pilihan kamu sendiri. Tapi, jangan suruh Mamas pergi dari sisi kamu, ya?" ujar gue panjang lebar.
Lagi-lagi Naya memejamkan matanya. Dia mengambil nafas berat. "Mas, tolong," lirihnya.
"Lupain tentang ucapan Mamas tadi malem kalau itu bikin kamu berat hati. Mamas bakal susulin kemana aja kamu pergi! Mamas nggak peduli meskipun dicaci maki karena mengundurkan diri dari proyek ini" ucap gue di sela-sela nafas yang masih tersengal-sengal.
"Stop Mamas!" hentaknya. "Mamas tuh juga punya kehidupan. Jangan cuma ngikutin aku terus. Gimana tentang mimpi Mamas? Gimana tentang cita-cita Mamas?"
"Apa artinya itu semua kalau nggak ada kamu, dek!" gue menekankan.
Naya mengetatkan rahangnya. "Kalau Mamas nekat meninggalkan pulau ini sebelum menyelesaikan tugas Mamas di sini, aku nggak mau lagi kenal sama Mamas!" Ultimatum itu dia keluarkan dengan wajah yang begitu tegas. Sorot matanya tajam sarat makna.
Gue mendesah, "Dek..!"
"Mamas turun dari kapal ini sekarang juga!" perintah wanita itu. Suara dengungan mesin terdengar begitu Naya menyelesaikan kalimatnya, menandakan kapal sudah siap berlayar.
Gue menatap dalam ke kedua netranya. Sebuah pengakuan terlontar dari sela-sela bibir. "Mamas cinta kamu, dek." Gue mengungkapkan itu dengan setulus hati. Gue takut, tidak akan ada hari lain untuk gue mengucapkannya.
"Aku juga sayang, Mamas," jawabnya parau namun terasa perih di hati.
"Kalau kamu terus ngusir Mamas dari sisi kamu, Mamas bisa aja menyerah mencintai kamu," gue udah pasrah. Gue benar-benar berada di titik paling lelah.
"Lakukan apa yang bisa membuat Mamas baik-baik aja," suara wanita itu tertahan di sela-sela isaknya.
Gue pun memantapkan hati. "Setelah Mamas turun, Mamas nggak akan nengok lagi ke belakang. Mamas akan hapus nama kamu di hati Mamas selamanya. Kamu masih mau Mamas turun dari sini?" gue menatap lurus ke netranya. Berharap akan ada keraguan di sana.
Bibir Naya bergetar. Dia mencoba sebisa mungkin untuk menahan air matanya.
"Turun, Mas! Dan jangan pergi sebelum tugas Mamas selesai," ucapnya disambut setitik air mata.
Aku mendongak sembari mengigit bibir, menahan sebisa mungkin air mata yang sudah mendobrak ingin keluar.
"Kalau begitu..." suara gue parau. "Ini hari terakhir aku mencintai kamu, Naya." Berjuta rasa sesal seketika menohok di dalam dada. Gue sendiri yang mengucapkannya, gue sendiri yang menahan perihnya.
"Iya," lirih Naya hampir tak terdengar.
"Apa benar sedikit pun harapan buat kamu nerima perasaan Mamas nggak ada?" Ini adalah kali terakhir gue mengais harap.
Naya menunduk. Dia sudah terisak di sana. "Turun, Mamas!" suaranya bergetar.
Bagaikan di sambar petir, tubuh gue lemas seketika.
"Baik." Gue mulai melangkah ke belakang.
"Mamas bakalan pergi. Kalau sampai langkah terakhir Mamas meninggalkan kapal ini kamu masih nggak memanggil nama Mamas, Mamas anggap kamu nggak pernah mau menerima perasaan Mamas. Mamas bakalan pendam dalam-dalam rasa ini sendiri, Nay. Nama kamu nggak akan ada lagi di hati Mamas. Selamanya!" suara gue kabur bersama hembusan angin yang mengiringi kepergan gue turun dari kapal. Namun wanita itu masih berdiri mematung di sana. Langkah demi langkah yang gue buat terasa berat. Betapa hati ini ingin mendengar suara kecilnya memanggil, namun begitu telapak kaki gue menyentuh tanah, hanya suara deru mesin yang terdengar. Naya tidak memanggil gue sama sekali. Itu artinya, cinta kami cukup sudah sampai di sini.
Setelah kapal berlalu menjauh, baru gue bisa berbalik badan. Hanya satu titik kecil yang tertangkap mata. Titik putih yang membawa cinta dua puluh lima tahun gue lebur seketika. Lutut gue melemas, badan gue ambruk di tanah. Gue menangis sekencang-kencangnya, meneriakkan namanya untuk terakhir kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Before You
RomanceCita-cita gue gak muluk2, cuma menanamkan benih di rahim Dek Kanaya aja. Nunggu sembilan bulan lalu taraaa... gue jadi bapak paling hots seantero pulau Jawa. Tapi gimana mau bercocok tanam kalau lahannya galak kayak gitu, mana bapaknya Jenderal lag...