Sembilan

2.9K 448 43
                                    

Sebagai cucu seorang Jenderal, Naya mewarisi bakat atletik keluarga ayahnya. Tidak seperti wanita-wanita manja di luar sana, Naya cukup berani menantang wahana-wahan ekstrim, salah satunya adalah paragliding. Siapa sangka, sosok dibalik tubuh indah bak bidadari itu tersimpan bakat kinestetik yang mumpuni.

Pada umur lima tahun, dia sudah pandai melakukan fouettes, sebuah putaran tiga ratus enam puluh derajat yang dilakukan berulang-ulang dengan bertumpu pada keseimbangan di tarian balet. Satu tahun kemudian, dia menjadi pembuka dalam acara Pekan Olahraga Daerah dengan melakukan gymnastic dan ice scating. Bahkan dia juga memecahkan rekor lari, berenang, lompat jauh, dan lompat tinggi untuk anak-anak seusianya pada kompetisi tingkat sekolah dasar. Tak heran jika predikat sabuk hitam pun dapat dia kantongi sebelum usianya menginjak tujuh belas tahun.

Vespa yang kami tumpangi memasuki jalan kecil dengan petunjuk arah bertuliskan Gantole Cihampelas. Udara pengunungan yang lembab terasa sangat segar disinari sang mentari pagi. Warna hijau mendominasi sejauh mata memandang. Pun deretan bukit dan gunung-gunung tinggi yang membentengi landscape kota Bandung barat. Sejak dijadikan titik dilangsungkannya pertandingan cabang olahraga paralayang pada pekan Olahraga Nasional 2016, daerah ini kemudian dikembangkan menjadi obyek wisata. Di antara lahan hutan pinus yang rindang itu dibangun banyak sekali spot foto. Jembatan bambu khas pedesaan menghiasi atas sungainya. Rumah pohon, saung bambu, bahkan area hammocking dapat ditemukan dengan mudah untuk sekedar melepas penat dan menyatu dengan alam.

Kami memarkirkan vespa di dekat tempat wisata Curug Malela sebelum masuk ke area lepas landas paralayang. Padang rumput hijau yang luas menyapa langkah kaki kami. Begitu pun barisan perbukitan dengan ketinggian sekitar seribu delapan puluh meter di atas permukaan laut. Balon-balon lengkung warna-warni mengisi birunya langit, menandakan banyak juga wisatawan yang sedang menikmati mengangkasa bersama arakan awan.

"Mamas berani terbang enggak?" Naya ngeledekin gue sambil mengenakan baju pengamanya. Senyumnya terlihat cerah, bahkan lebih cerah dari cuaca hari ini.

"Ya berani lah. Meremehkan Mamas kamu" gue berusaha mempertahankan harga diri.

"Yakin? Bungee Jumping aja lututnya gemetaran" gue diledekin.

"Enggak. Siapa bilang?" mata gue berusaha menghindari tatapan Naya.

"Halah. Takut ketinggian kok sok-sokan mau daftar TNI AU. Pantesan gagal" tuh kan gue makin diejek. Pake mengungkit-ungkit kegagalan masa lalu lagi.

"Waktu itu mah kalah sebelum bertanding. Gara-gara Mami nggak ngebolehin ya udah Mamas pulang. Bukan berarti Mamas gagal kan?" gue mencari pembelaan.

"Gitu-gitu kok pengen nerbangin pesawat" seakan tidak ada hentinya Naya mencibir gue.

"Ya beda lah. Kalau naik pesawat kan di kita di dalem mesin. Secara psikologi lebih tenang. Kalau kayak gini nggak ada tedeng aling-alingnya."

"Berarti bener Mamas takut!" Naya meletin gue.

Gue ngambek, "Ya udah nggak jadi. Dari tadi kamu ngeledekin Mamas terus!" gue berbalik memunggungi Naya lalu jongkok sambil jumputin rumput. Tidak lupa bibir gue monyong-monyong sebel.

"Ye... gitu aja ngambek" Naya nyamperin gue. "Udah ah manyunnya. Sini aku benerin baju pengamannya." Gue ditarik berdiri sebelum gadis itu memastikan sabuk-sabuk pengaman gue terkait dengan kencang.

"Kamu kok suka banget sih dek sama langit. Kenapa nggak sama Mamas aja?" tanya gue tatkala Naya memasangkan helm pengaman di kepala gue.

"Mamas sendiri kenapa suka pesawat?" bukannya dijawab, dia malah balik nanya.

"Ya suka aja" gue juga nggak tau jawabannya. Kan yang namanya suka nggak butuh alasan. Termasuk rasa gue ke Naya.

"Ya sama!" dia menyahut. "Mamas nanti terbangnya boncengan sama Naya aja ya. Kasian kalau sama guidenya, nanti Mamas nangis teriak-teriak minta turun bingung dia."

Tuh kan gue diledekin lagi.

"Mamas nggak bakalan nangis!" bak anak kecil gue bersikukuh.

"Iya... iya. Nggak bakalan nangis."

Setelah sabuk pengaman kita selesai di pasang, beberapa guide membantu kami untuk mengecek ulang prosedur keselamatan dan bersiap-siap menerbangkan parasut terbang. Naya berada di depan gue. Tubuh kami saling menempel. Tingginya yang tepat sedada membuat gue lebih nyaman memeluknya dari belakang.

"Dek, kamu tau enggak kenapa parasut ini bisa mengalahkan gravitasi dan membawa kita terbang ke angkasa?" gue tiba-tiba nanya random.

"Ya Mas dong yang jawab. Kan Mamas yang belajar tentang pesawat-pesawatan. Itu juga kenapa pesawat bisa terbang padahal bebannya berat banget?"

"Ya sama prinsipnya. Karena pesawat itu pake gaya angkat yang lebih gedhe dari pada gaya gravitasi. Ditambah gaya dorong dari mesinnya yang kalau bekerja bersama-sama gaya angkat bakal menghasilkan gaya aerodinamik pada sayap. Makanya ini parasut dibuat melengkung gini kayak sayap pesawat, biar gaya aerodinamiknya bisa bekerja."

"Mamas nih ngomong apaan sih aku nggak mudeng. Kalau bahas aerodinamik sama temen-temen Mamas aja yang sama-sama pinter. Naya taunya kita bisa terbang karena ketiup angin." gadis itu merentangkan tangannya merasakan buaian angin yang berhembus memainkan surai-surai rambutnya.

"Hebat ya angin. Bisa menerbangkan apa aja. Mamas mau nerbangin hati kamu aja nggak bisa-bisa" curhat gue disela-sela kesibukan kita menikmati semilir karena tekanan udara yang berbeda itu.

Hukum II Termodinamika, kalor mengalir secara alami dari benda panas ke benda yang dingin. Dalam hal ini gue adalah panas dan Naya adalah dingin. Tanpa usaha gadis itu mampu membuat gue jatuh ke dalam pesonanya. Seperti panas api yang merambat perlahan namun pasti ke besi yang dingin. Seperti udara bertekanan tinggi yang bergerak menuju udara yang bertekanan rendah lalu menghasilkan angin.

Sebaliknya, kalor tidak akan mengalir secara spontan dari benda dingin ke benda yang panas tanpa dilakukan usaha. Naya tidak akan pernah membalas perasaan ini tanpa gue melakukan usaha. Usaha yang bisa didapatkan hanya jika gue mengalikan besaran gaya dengan jarak perpindahannya. Jika saja perasaan adalah benda konkrit, maka gue akan lebih mudah menghitung nilai konstantanya. Namun rasa adalah abstrak. Tidak ada rumus yang bisa menjelaskan cara kerjanya.

"Udah sini pegangan yang kenceng." Tangan gue dilingkarkan di sekitar pinggangnya. "Aku ugal-ugalan kalau di angkasa" celotehnya menirukan gaya bicara gue setiap kali memboncengkan Naya dengan vespa.

"Siap! Satu.. Dua.. Tiga.." Kaki kami pun terlepas dari tanah, menukik tajam meninggalkan rumput perbukitan, disambut semilir angin yang berkawan, lalu membubung mengiri kepakan sayap burung-burung camar.

"Huaaah... Uaaaa..." gue kegirangan menikmati sensasi menari di atas awan. Memandang lepas hijau zambrud khatulistiwa. Melihat dunia dari sisi yang berbeda.

Naya dengan lincahnya membawa gue menukik ke kiri dan ke kanan. Bermain-main di dalam balutan angin dan awan. Jauh di titik sana sang mentari sembunyi di balik pegunungan. Memendarkan sinarnya di antara embun-embun pegunungan.

Gue memeluk Naya dari belakang, dengan dagu yang menempel pada bahu sebelah kirinya. Gemerisik angin membuat tuli indera pendengaran kami, namun rasanya begitu tenang dan damai. Tidak ada kebisingan selain suara alam. Kita tenggelam dalam renungan hati masing-masing.

"Nay.." gue berbisik tepat ditelinganya. Namun ragu jika gelombang suara ini bisa mengalahkan deru angin yang memekak. "Mas cinta kamu" satu pengakuan yang berhasil gue utarakan.

Naya menoleh. Tampaknya indera pendengarannya tidak bisa menangkap kalimat yang terucap dari bibir gue barusan. Dahinya berkerut, meminta gue mengulangi sekali lagi.

Tapi seribu kata akan kalah dengan satu aksi.

Di ketinggian seribu sembilan puluh tujuh meter di atas permukaan laut, ditemani suara kepakan burung-burung camar dan biasan matahari di celah pegunungan, bibir ini bergerak maju mengecup bibir yang telah lama dinantinya.

Detik itu, Kallan mencium Kanaya dan langit menjadi saksinya. 

Sky Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang