Kim 13

284 30 1
                                    

"Pada akhirnya, mengecawakan bukanlah kebenaran. Namun, kebenaran kadang mengecewakan."
~B


Setelah menemui ayah dan bibinya di rumah sakit, Seokjin langsung pergi ke kantor. Namjoon terpaksa dijemput bodyguard nya, walau Seokjin tahu kalau Namjoon akan memarahinya nanti. Namjoon tidak pernah mau dijemput bodyguard-nya, bahkan kehadiran mereka dianggap benalu oleh pemuda itu.

Seokjin tersenyum kecil pada Yoora lalu masuk ke dalam ruangannya dan langsung menutup pintu. Seokjin duduk di kursi kerjanya dengan perasaan tak tenang. Bayang-bayang kemarahan Namjoon sudah dirasakannya.

Sesekali ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, kemudian menatap langit melalui kaca besar di ruangannya. Otaknya tak bisa berhenti membayangkan kemarahan Namjoon, ditambah lagi sosok Taehyung yang tiba-tiba muncul di pikirannya.

Seokjin tak pernah tahu bahwa ayahnya memiliki saingan yang akan membahayakan nyawa adiknya. Walau begitu, akhirnya Seokjin tahu mengapa ayahnya menyembunyikan identitas mereka. Apa yang ayahnya lakukan selama ini sudah benar, hanya caranya yang salah.

Hal yang sangat dibenci semua orang adalah kebohongan. Ketika sudah dikecewakan sekali, maka rasa percaya itu akan berkurang takarannya. Namun, Seokjin tak bisa mengurangi rasa percaya terhadap ayahnya sendiri, walau ia kecewa.

Seokjin mengusap wajahnya dan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia mulai beralih pada berkas yang menumpuk di atas meja kerjanya. Namun sayangnya, saat ini ia tidak bisa berpikir dengan baik. Seokjin terus mencoba untuk fokus, tapi hasilnya sama saja. Sosok Namjoon dan Taehyung sama sekali tak bisa hilang dari pikirannya.

“Apa ini tidak akan berakhir sebelum aku mengatakannya pada Namjoon?”

Seokjin menghela napas berat lalu meraih ponselnya di atas meja. Ia mencoba untuk menghubungi Namjoon. Ketika nada panggilan berbunyi, pikiran Seokjin tiba-tiba berubah. Baru saja ia akan membatalkan panggilannya, ternyata Namjoon sudah menerimanya.

“Ada apa, Kak?”

Seokjin terdiam beberapa saat.

“Kak, apa kau baik-baik saja?”

Seokjin tersentak dan langsung menggeleng. Ini bukanlah cara yang tepat.

“Ya, Namjoon. Apa kau sudah sampai? Maaf, sinyal ponselku sedang buruk,” sangkal Seokjin.

“Ya, aku sudah sampai.”

“Bagus, kalau begitu. Baiklah, aku akan kembali bekerja. Jaga Taehyung dan jangan berkelahi!” pinta Seokjin, lalu langsung mengakhiri panggilannya.

Seperti itulah Seokjin, ia akan langsung mengakhiri pembicaraan di telepon tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang sana. Mengapa? Karena Seokjin tak tahu cara mengakhiri pembicaraan lewat telepon.

...

Namjoon terus menatap ponselnya. Setelah Seokjin menghubunginya beberapa menit lalu, tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak, seperti ada sesuatu yang mengganjal.

“Kak, apa kau baik-baik saja?”

Namjoon tersentak karena Taehyung tiba-tiba sudah ada di kamarnya.

“Kau ini! Ketuk pintu dulu! Tidak sopan!” omel Namjoon.

“Pintunya terbuka lebar, jadi itu salahmu.”

“Terserah kau saja,” ucap Namjoon, “oh ya, aku ingin menanyakan sesuatu.”

Taehyung langsung duduk di sofa kecil kamar Namjoon. Sofa itu berseberangan dengan tempat tidur. “Ada apa?”

Kim Brothers (thEnd)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang