Kim 6

338 54 2
                                    

Baru satu jam Seokjin menunggu, Namjoon sudah menghubunginya dan meminta untuk dijemput. Kebetulan Seokjin sudah rapi dengan pakaian formalnya, jas hitam yang menutupi kemeja putih di dalamnya dan celana bahan berwarna hitam.

“Apa Kakak akan berangkat sekarang?” tanya Taehyung sembari menuruni anak tangga.

Seokjin mengangguk sembari merapikan rambutnya. “Ingat! Jangan melakukan hal yang aneh-aneh selama aku dan Namjoon tidak di rumah. Jangan merepotkan Bi Hana.”

“Tenang saja, lagi pula aku mengantuk dan akan menunggu kalian sambil tidur. Apa aku boleh tidur di kamarmu?” tanya Taehyung, hati-hati.

“Kenapa ingin tidur di kamarku?” tanya Seokjin, heran.

“Supaya aku mengetahui kepulanganmu nantinya,” jawab Taehyung.

“Baiklah, tapi jangan membuat kamarku berantakan!” kata Seokjin, memperingati Taehyung.

Begitu mendengar jawaban Seokjin yang memuaskan, Taehyung langsung berlari memasuki kamar Seokjin.

...

Hanya butuh waktu lima belas menit, akhirnya Seokjin sampai di sekolahnya. Ternyata Namjoon sudah menunggu di depan pagar sekolah dan itu membuat Seokjin siap memarahinya.

“Kenapa Kakak lama sekali?” tanya Namjoon, setelah memasuki mobil.

“Kenapa kau menunggu di depan pagar? Itu berbahaya!” omel Seokjin.

Namjoon yang sedang mengenakan sabuk pengaman langsung terhenti. “Maaf, aku terlalu senang sampai melupakan hal itu.”

Seokjin mendecak mendengarnya, bisa-bisa hal sepenting itu dilupakan Namjoon.

“Apa aku harus ikut ke kantor dulu?” tanya Namjoon.

“Kau bisa pulang bersama bodyguard, jika mau.” Jawab Seokjin, membuat Namjoon menggeleng cepat.

“Lebih baik aku ikut denganmu.”

“Bagaimana hari pertamamu di sana? Kenapa pulangnya cepat?” tanya Seokjin.

Ah, ternyata aku salah informasi. Biasanya les berlangsung selama sembilan puluh menit, karena ini hari pertama jadi hanya perkenalan.” Jelas Namjoon.

“Baiklah,” sahut Seokjin.

Oh ya, aku lupa memberitahu Kakak. Aku mengikuti les setiap hari Selasa dan Kamis, karena hari Senin, Rabu, dan Jumat akan ada pelajaran tambahan untuk olimpiade.” Ungkap Namjoon.

“Jadwalmu lebih padat dariku, apa kau benar-benar siap menjalaninya?” tanya Seokjin, mencoba meyakinkan Namjoon.

Namjoon menghela napas panjang, kemudia mengangguk. “Inilah jalan yang kuambil, bagaimana pun aku harus siap menjalaninya.”

“Baiklah, kau sudah mulai dewasa, itu bagus.”

...

Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya Seokjin dan Namjoon sampai di kantor. Keduanya langsung menuju ruangan Donghwa. Baru saja mereka sampai di lantai dua, seorang wanita muda menghalangi jalan mereka.

“Ternyata Namjoon juga datang ke sini, sudah lama aku tidak melihatmu.” Kata wanita itu sembari menyentuh tangan Namjoon, tapi dengan cepat Namjoon menepisnya.

“Maaf, Tuan. Ada beberapa berkas yang harus diselesaikan hari ini,” kata Yoora yang tiba-tiba datang dan mengalihkan suasana.

Seokjin mengangguk dan beranjak meninggalkan wanita tadi, diikuti dengan Namjoon.

“Saya tidak mau melihat karyawan berada di luar meja kerjanya saat jam kerja sedang berlangsung!” pekik Seokjin, membuat karyawan di lantai itu menunduk.

Seokjin dan Namjoon langsung masuk ke dalam ruangan ayah mereka setelahnya. Seokjin duduk di kursi kerja ayahnya, sedangkan Namjoon di sofa panjang yang ada di ruangan itu.

“Ternyata wanita itu masih bertingkah aneh,” ujar Namjoon.

“Dia adalah orang yang selalu mengusik ketenanganku saat di kantor,” jelas Seokjin.

“Apa dia masih terobsesi untuk menjadi ibu kita?” tanya Namjoon.

“Kau bisa lihat sendiri, kan?”

Namjoon hanya mengangguk-angguk bersamaan dengan seseorang yang mengetuk pintu ruangan itu.

“Masuk!” pekik Namjoon.

Pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita tadi. Bitna, begitu nama yang tetera di tanda pengenalnya.

“Maaf, Tuan. Dia memaksa untuk masuk,” kata Yoora, dengan raut cemas.

“Tidak apa, kau bisa kembali bekerja.” Kata Seokjin dengan tegas.

Yoora mengangguk lalu kembali ke meja kerjanya, sedangkan Bitna malah menutup pintu ruangan itu dengan sebuah kotak di tangannya.

“Aku membawakan sekotak kue untuk kalian, Namjoon pasti lapar karena baru pulang sekolah, kan?” tanya Bitna, seolah tak bersalah.

“Aku sudah mengatakan hal ini tadi, tidak ada karyawan yang keluar dari meja kerjanya saat jam kerja berlangsung!” tukas Seokjin.

Bitna menghela napas panjang lalu meletakkan kotak kue itu di meja panjang yang berada tepat di depan Namjoon.

“Sampai kapan kau bersikap seperti ini Seokjin? Aku tulus menyayangi Donghwa dan kalian,” kata Bitna membuat Seokjin mendesis.

“Berhenti menyebut atasanmu seperti itu! Ini kantor!” tegas Seokjin.

“Aku tahu, tapi sudah banyak cara aku lakukan untuk meyakinkan kalian.” Ujar Bitna, seolah tak menggubris ucapan Seokjin.

“Maka berhentilah!” sahut Namjoon tiba-tiba. “Tidak ada yang bisa menggantikan posisi ibu kami!”
Bitna beralih menatap Namjoon.

“Kau sudah dengar ucapan Namjoon, kan? Silakan tinggalkan ruangan ini!” pinta Seokjin, tanpa menatap Bitna yang membuat emosinya hampir meledak.

“Aku tetap akan membuktikan pada kalian bahwa aku pantas menjadi ibu kalian,” ucap Bitna, tak peduli.

Namjoon tertawa kecil mendengarnya. Bukan tawa yang menyatakan perasaan senang, tapi tawa yang berarti meremehkan.

“Kami tidak akan membiarkan itu terjadi,” balas Namjoon dengan sinis.

“Keluarlah dari ruangan ini!” suruh Seokjin.

Bitna menghela napas berat lalu meninggalkan ruangan itu sambil menaham emosi. Pintu ruangan tersebut dibiarkannya terbuka. Ketika Namjoon akan menutupnya, Yoora datang dengan wajah seriusnya.

“Ada apa, Yoora?” tanya Seokjin.

“Saya ingin mengatakan hal yang serius, Tuan.” Jawab Yoora dengan nada pelan.

“Tentang apa?” tanya Seokjin, lagi.

“Tentang wanita itu, Bitna.”

Tanpa menunggu jawaban dari Seokjin, Namjoon mempersilakan Yoora masuk, tak lupa ia menutup pintu dan menguncinya.

“Silakan duduk,” kata Seokjin pada Yoora.

Yoora mengangguk lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Seokjin dan dibatasi sebuah meja.

“Apa yang ingin kau sampaikan? Aku tidak sabar,” tanya Namjoon yang sudah duduk di sebelah Yoora dengan kursi yang berbeda.

“Selama Pak Donghwa sedang tugas ke luar kota dan Tuan tidak datang, Bitna menyabotase perusahaan. Dia berlagak seolah-olah pemimpin perusahaan, bahkan beberapa karyawan diminta untuk menyelesaikan pekerjaannya.” Ungkap Yoora membuat Seokjin dan Namjoon mendelik.

“Kenapa dia melakukan itu?” tanya Namjoon, geram.

“Bitna mengatakan pada seluruh karyawan bahwa dia adalah calon istri Pak Donghwa,” jelas Yoora.

Namjoon dan Seokjin saling bertatapan. “Gila!”

“Maaf, saya terpaksa mengatakan hal ini karena perilaku Bitna sudah merusak ketenangan karyawan. Bahkan, dia tidak segan-segan meminta karyawan untuk membelikannya makan di jam kerja.” Tambah Yoora.

“Sudah berapa lama dia seperti itu?” tanya Seokjin.

Yoora tampak berpikir cukup lama. “Sekitar tiga bulan lalu, setelah dia diangkat menjadi bendahara.”

Namjoon dan Seokjin terdiam beberapa saat.

“Hanya itu yang ingin saya sampaikan, kebetulan ini juga keluhan karyawan. Apa saya boleh keluar sekarang?” tanya Yoora dengan hati-hati.

Seokjin dan Namjoon mengangguk bersamaan, setelah itu Yoora beranjak meninggalkan keduanya. Tak lupa Yoora menutup kembali pintu ruangan.

“Wanita itu bertindak semaunya, aku akan mengatakan ini pada ayah.” Kata Namjoon lalu meraih ponselnya yang ada di dekat Seokjin.

“Jangan! Biar aku yang mengatakan pada ayah,” larang Seokjin.

Namjoon mengangguk lalu kembali meletakkan ponselnya di atas meja.

“Aku akan membantumu, Kak. Jangan khawatir,” ucap Namjoon dan disahuti anggukan oleh Seokjin.

^^^

Hello, guys.

Selamat membaca kembali, semoga berkenan untuk menyukai dan memberi komentar.

Semoga puasanya lancar.

Semangat!

Kim Brothers (thEnd)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang