Kim 9

310 45 3
                                    

Matahari mulai terbenam, perlahan bulan dan bintang menampakkan cahayanya. Ketika Seokjin dan Taehyung berada di ruang keluarga untuk menyaksikan acara di televisi, Namjoon menyibukkan dirinya di kamar dengan laptopnya.

Sudah tiga puluh menit Namjoon di depan layar monitor, tapi jemarinya tak berhenti menari di atas keyboard. Beberapa kata kunci dimasukkannya ke kolom pencarian, tapi hasilnya tetap tak memuaskan. Ia berusaha mencari tahu, siapa orang yang senantiasa mendonorkan ginjalnya untuk Taehyung. Namjoon tak peduli jika Seokjin akan memarahinya nanti.

Ah, kenapa tidak ketemu juga? Kenapa orang itu menyembunyikan identitasnya? Apa dia masih keluarga Kim? Sikapnya sama seperti ayah yang selalu menyembunyikan identitas keluarganya.” Gumam Namjoon, sembari menyandarkan tubuhnya di sofa kecil.

“Apa aku bicara saja pada dokter itu, ya?” pikir Namjoon. “Ah, tapi tidak akan semudah itu.”

Namjoon terdiam sesaat. “Baru kali ini aku penasaran dengan kehidupan orang lain.”

Tiba-tiba ponsel Namjoon berdering, menandakan sebuah pesan masuk. Dahi Namjoon berkerut ketika tidak ada nama sang pengirim, nomor asing.


08xx xxxx xxxx
Hallo, Namjoon.
Aku J-Hope, maaf jika mengganggu.

Dahi Namjoon berkerut, ia tidak pernah meminta nomor J-Hope, begitu pun sebaliknya. Namun, Namjoon tetap menyimpan nomor J-Hope di kontak ponselnya.

Kim Namjoon
Bagaimana kau tahu ini nomorku?



J-Hope
Maaf, aku melihatnya di datamu.
Kenapa hari ini kau tidak datang?


Kim Namjoon
Ah, tidak masalah.
Hari ini aku ada pelajaran tambahan.
Aku ikut olimpiade antar sekolah.


J-Hope
Wah, beruntung sekali.
Aku tidak menyangka, ternyata kau pintar.


Percakapan itu terus berlangsung, walau Namjoon sibuk mencari informasi tentang pendonor ginjal untuk Taehyung.

***

Keesokan harinya...

Seokjin selalu keluar kamar lebih dulu dibanding Namjoon dan Taehyung. Bahkan, Namjoon bisa menjadi yang terakhir. Seokjin menyantap nasi gorengnya dengan lahap.

“Kak Seokjin!”

Teriakan Taehyung membuat Seokjin terkejut dan hampir menumpahkan nasi gorengnya. Taehyung baru keluar dari kamarnya. Seokjin menggeleng, sedangkan Taehyung hanya tertawa. Pemuda itu menuruni tangga dengan tingkah cerianya dan hal itu membuat Seokjin bahagia.

“Apa Kak Namjoon belum selesai?” tanya Taehyung sembari duduk di kursi kayu sebelah Seokjin.

“Bukankah dia memang seperti itu?”

Taehyung mengangguk-angguk lalu duduk di sebelah Seokjin. Tak lama kemudian, Namjoon keluar dari kamarnya dengan seragam lengkap, tapi wajahnya seperti kurang semangat.

“Selamat pagi,” sapa Namjoon sembari menuruni anak tangga dengan nada lemas.

Taehyung dan Seokjin saling bertatapan.

“Kau kenapa?” tanya Seokjin.

Namjoon hanya diam sampai duduk di kursi yang berhadapan dengan Seokjin.

“Apa Kakak sakit?” tanya Taehyung.

“Tidak, aku hanya kurang tidur.” Jawab Namjoon lalu meletakkan kepalanya di atas meja makan.

“Bagaimana bisa? Kami kira kau tidur lebih dulu karena sejak pulang dari kantor tidak keluar kamar.” Ucap Seokjin.

“Banyak yang mengganggu pikiranku,” jawab Namjoon.

“Kau pasti kelelahan karena ikut pelajaran tambahan lalu ke kantor,” sahut Taehyung.

“Bukan itu, aku tidak keberatan dengan dua kegiatan itu.” Ujar Namjoon.

“Lalu apa?” tanya Taehyung, penasaran.

“Sudahlah, kau tidak perlu tahu. Ini urusan orang dewasa,” jawab Namjoon, membuat Taehyung mendelik.

“Kau pikir aku masih anak kecil?” tanya Taehyung, tak terima.

“Sudahlah, aku tidak mau berdebat denganmu.” Sahut Namjoon.

“Aku akan diam, jika Kakak menjawab pertanyaanku.” Tukas Taehyung.

“Itu tidak penting, Taehyung. Sudahlah.”

Taehyung memutar matanya, percuma saja ia memaksa Namjoon, bisa-bisa ia malah emosi. Namjoon bukanlah Seokjin yang mudah mengalah.

...

Sesampainya di sekolah, ketiganya langsung menuju kelas masing-masing. Namun, sesampainya di ujung tangga, Seokjin menahan tangan Namjoon.

“Aku tahu, kau pasti semalam mencari informasi tentang si pendonor, kan?” tebak Seokjin.

“Ya, aku penasaran dan ingin tahu bagaimana keluarganya.” Sahut Namjoon.

“Kenapa kau tetap melakukannya? Apa kau mau orang itu berubah pikiran?” tanya Seokjin.

“Ini bukan hal kecil, Kak. Ini tentang hidup dan mati seseorang,” jawab Namjoon.

“Aku tidak mau berdebat, kita sudah membicarakan hal ini kemarin,” ujar Seokjin.

“Coba pikirkan lagi, Kak. Aku mohon!” pinta Namjoon.

Seokjin tak menjawab, ia malas berdebat tentang hal ini.

“Rasa penasaranku terlalu besar. Bagaimana kita bisa tanggung jawab pada keluarganya, jika kita tidak mengetahui identitasnya?” tanya Namjoon.

“Baiklah, terserah padamu ingin melakukan apa, aku tidak peduli.” Jawab Seokjin, lalu pergi meninggalkan Namjoon.

Namjoon memandang bahu Seokjin sambil menghela napas berat.

“Maaf, Kak. Kali ini aku tidak di pihakmu.”

...

Sudah lima menit sejak bel berbunyi, tapi kelas Taehyung belum ada guru. Suasana kelas menjadi ramai, sampai akhirnya terdengar suara hak sepatu yang beradu dengan lantai. Sontak hal tersebut membuat suasana menjadi sunyi.

“Selamat pagi anak-anak, hari ini akan ada murid baru di kelas ini.” Ucap wanita baya itu. “Silakan masuk.”

Seorang pemuda memasuki kelas sambil tersenyum kecil. Tubuhnya seperti atlet, membuat murid perempuan saling berbisik karena mengaguminya.

“Silakan perkenalkan diri.”

Pemuda itu mengangguk lalu menarik napas panjang.’

“Selamat pagi teman-teman, saya murid baru di kelas ini. Semoga kalian bisa menerima saya dengan baik.” Ucap pemuda itu.

“Pindahan dari mana?” tanya seorang siswi.

“Saya pindahan dari luar kota.”

“Apa masih ada yang ingin bertanya?” tanya guru tadi.

“Maaf, Bu. Dia belum menyebutkan namanya,” sahut Jimin.

“Maaf, saya lupa. Nama saya Jeon Jungkook, biasa dipanggil Jungkook.”

“Baiklah, silakan duduk di bangku yang kosong, di belakang Taehyung dan Jimin,” suruh guru itu.

Murid baru bernama Jungkook itu langsung melangkah menuju bangku yang dimaksud. Siswi di kelas itu tak bisa melepaskan tatapannya dari Jungkook. Pemuda itu terlalu luar biasa untuk ukuran seorang siswa biasa. Di sekolah ini, Kim bersaudaralah yang luar biasa sebelumnya, tapi kali ini mereka memiliki saingan, yaitu Jungkook.

“Hai, Jungkook. Namaku Taehyung dan ini Jimin,” kata Taehyung, memperkenalkan dirinya dan Jimin.

“Hai, senang berkenalan dengan kalian.” Sahut Jungkook.

“Mulai sekarang, kau adalah temanku dan Jimin. Apa kau setuju?” tanya Taehyung, membuat Jungkook tersenyum lebar,

“Aku tidak mungkin menolaknya,” jawab Jungkook.

“Akhirnya, teman kita bertambah.” Ucap Jimin.

“Apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jungkook, berbisik.

“Silakan saja.”

“Apa ada yang salah denganku? Kenapa mereka terus memandangiku?” tanya Jungkook, masih berbisik.

Jimin dan Taehyung langsung mengalihkan pandangannya, lalu mereka tertawa kecil.

“Kenapa kalian tertawa?” tanya Jungkook, heran.

“Jangan khawatir, mereka mengagumimu. Aku juga begitu,” jawab Taehyung.

Jungkook mendelik mendengarnya. “Kau juga mengagumiku?”

“Bukan! Aku juga sepertimu saat pertama kali masuk sekolah ini, bahkan sampai sekarang.” Jelas Taehyung.

“Memangnya kau ini siapa?” tanya Jungkook, lagi.

“Aku manusia, kau ini bagaimana!” jawab Taehyung membuat Jungkook memutar matanya malas.

Keduanya kembali fokus karena pelajaran akan dimulai.

Tanpa Taehyung sadari, ia telah melanggar peraturan yang diberi Donghwa. Yaitu, tidak mudah berteman dengan orang asing. Namun, Taehyung sudah melakukannya dua kali. Pertama dengan Jimin dan sekarang Jungkook.

^^^

I'm back hehe
Jangan lupa tinggalkan jejak, guys.

See you next part.

Kim Brothers (thEnd)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang