Part 15

16 1 0
                                    

 *

*

*

" apa tidak ada cara lain,?" tanya seorang pria kepada lawan bicaranya. Dia mendesah frustasi dan mengacak pelan rambut coklat pendeknya. Tatapannya beralih kepada dua orang yang ada didepannya dan memiliki kekacauan yang sama seperti dirinya.

"keadaan ayah kalian semakin memburuk, dia akan lebih intensif berada dirumah sakit, dan kalian tau berada di rumah sakit itu perlu biaya, dan biayanya tidak sedikit." ucap wanita paruh baya diantara mereka dengan suara bergetar penuh keputusasaan.

"semenjak ayah kalian sakit, usahanya semakin menurun dan terbengkalai. Aku tidak bisa menjamin apa tambak ikan sederhana itu bisa mencukupi kebutuhan kita sehari-hari dan ongkos sekolah kalian bertiga? Semua perhiasan dan barang-barang berarti sudah terjual untuk biaya pengobatan, yang tersisa sekarang hanya tambak dan rumah makan. Jika mereka sampai terjual kita tidak akan punya apa-apa lagi, karena itu ada yang harus dikorbankan," sambungnya.

" Anda bisa korbankan saya. Saya anak tertua disini, sudah seharusnya saya bertanggung jawab juga mengenai hal ini," ucap pria yang lebih jangkung dari pria sebelumnya dan sama-sama memiliki wajah tampan dan tegas.

" benar Bu, kami tidak masalah jika menghentikan pendidikan kami untuk saat ini, kami bisa mengulang kembali jika keadaan keluarga kita sudah stabil," tambah pria satunya untuk meyakin wanita paruh baya yang notabennya sebagai Ibu mereka.

" apa yang kalian pikirkan? bagaimana kalian bisa mendapatkan pekerjaan yang pantas jika pendidikan kalian terhenti? Apa kalian pikir mendapatkan pekerjaan itu mudah tanpa ada keterangan hitam diatas putih? Apa kalian ingin terus hidup susah?" bentak sang Ibu dan terdiam sesaat untuk menenangkan diri sebelum kembali bicara.

"Kalian itu calon pemimpin dikeluarga kalian nanti, mau kalian beri makan apa keluarga kalian nanti. Setidaknya dengan memiliki title, kalian akan lebih baik dari sekarang. Kalian bisa memperbaiki kondisi keluarga kita nantinya. Sedangkan perempuan? Berpendidikan atau tidak, hidupnya akan ditanggungjawabi oleh suaminya. Itu sudah kodrat perempuan. Ibu mohon, kalian jangan meremehkan pendidikan kalian." tambah sang Ibu, menjelaskan maksud dari apa yang diharapkannya.

" tapi, Roy rasa itu tidak adil untuk Rizka, Bu." ucap anak tertua yang ternyata bernama Roy.

" dia masih sekolah menengah atas, kita tidak bisa mengorbankan masa remajanya, Bu." tambah Roy yang masih tidak terima dengan keputusan Ibunya tersebut.

" Rony sependapat dengan kak Roy, kita tidak bisa mengobankan masa depan Rizka, setidaknya dia harus lulus sekolah." 

" lalu, salanjutnya?" tanya sang Ibu, secara tidak langsung meminta jalan keluar lain. Tak ada yang menjawab, mereka masih memikirkan jalan terbaik agar tidak ada korban mengorbankan.

" beri kami waktu! Kami akan berusaha keras memperoleh uang lebih tanpa putus kuliah," ucap Rony memecahkan keheningan beberapa saat yang lalu.

" benar Bu, Saya juga mulai belajar bagaimana mengelola Tambak, kita bisa bersama-sama mengelola Rumah makan dan tambak lebih baik lagi. tolonglah Bu, kita coba sekali lagi." pinta Roy dengan lembut. Cukup lama sang ibu memutuskan, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi membuat sang anak frustasi.

"baiklah, tapi, kita punya waktu sampai akhir tahun, jika tidak ada perkembangan, mau tidak mau Rizka harus berhenti sekolah dan menikah dengan anak Pak Sudrajat." semuanya mengangguk setuju dan tenggelam dengan pikiran dan rencana masing-masing. 

Tanpa mereka sadar dibalik tembok pemisah antara dapur dan ruang tengah ada sepasang mata bulat memperhatikan mereka dan tertunduk lesu. "aku tidak punya pilihan," gumamnya dan melangkah kembali kekamar dengan senyum sedih diwajahnya. Haruskah!

Best Friend ForeverWhere stories live. Discover now