Seduhan Pembuka - Obrolan

611 52 8
                                    

Jangan lupa follow dulu yak! Nyambi baca vote dan komen, ya!

―――――――――

Ini hanya bagian kecil dari apa yang ingin kusampaikan. Tak ada yang berubah setelah tiga tahun terakhir. Aku masih pandai menyimpan pilu serta setia memagut luka yang masih tersisa darimu. Bagiku, tak ada yang benar-benar memilukan setelah kepergianmu.

Kepergianmu di sini bukan perihal kau dan aku sudah tersekat oleh jarak yang jauh. Tetapi situasi yang bercerita di mana kau yang aku kenal sekarang adalah sosok asing yang tak lagi sehangat dulu. Inilah kebersamaan yang secara tak kasat mata meninggalkan dinding pemisah.
Waktu bahkan semakin menggerogotiku, memutar waktu di mana kau dan aku masih didekatkan oleh semesta. Tentang perjalanan tiga tahun di dunia abu-abu hingga kejadian di waktu kelulusan itu pula sebagai penutup dari hidangan kehangatan yang telah kita ramu bersama.

Nyatanya, merindukanmu masih saja tiap malam hingga membuatku lupa bahwa akulah yang paling terluka di sini.

Masih hangat di ingatan. Dari awal pertemuanku denganmu untuk pertama kalinya di awal Januari 2014 di sebuah starbuks terkenal di ibu kota. Aku yang memang sedang bertedu dari hujan sedangkan kau yang hanya datang mengambil pesanan Ibumu, begitu katamu tempo hari.

Kau duduk di depanku lalu menatap segelas latte yang ada di atas meja, tepatnya di hadapanku.

"Suka latte, ya?" tanyamu padaku untuk memecah keheningan.

Aku segera menutup novel yang sedang kubaca. Percuma lagi berpura-pura sibuk membaca sedang fokusku terpecah padamu kala itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku lalu mengambil segelas latte itu dan menyesapnya kemudian karena memang masih sedikit panas.

"Tahu filosofi latte?" tanyamu lagi. Aku menggeleng sebagai jawaban karena memang aku tidak tahu filosofinya.

Mendadak kau terkekeh pelan. Matamu sampai ikut tenggelam. Bukan itu yang menarik perhatianku tapi karena kedua pipimu itu ternyata menghasilkan lubang yang dalam saat sedang terkekeh seperti ini.

"Kau lucu. Suka latte tapi belum tahu filosofinya? Ckckck!"

"Aku hanya penikmat latte, bukan pembuat maupun filsuf dari latte itu sendiri," ujarku. Kau melepas jaketmu lalu kembali menaruh kedua sikumu di atas meja sebagai topangan.

"Kenali lebih dalam dan terpukaulah oleh lugunya sebuah pesona," ucapmu ambigu membuatku mengangkat sebelah alisku tak paham. Kau yang melihat ekspresiku kembali terkekeh kemudian menarik gelasku lalu menatap sekilas permukaan isi gelas itu. Gambar latte-nya masih tergambar dengan jelas walaupun pinggirannya sudah sedikit hancur.

"Lihatlah!" ucapmu. Aku hanya menatapmu saat kau mengambil sebuah sendok yang ada di kotak kecil di atas meja. Tanganmu dengan lihai kembali mengorek isi gelasku. Dalam sekejab gambar latte itu berubah. Dari yang awalnya berbentuk hati, sekarang sudah berbentuk bunga walaupun sedikit berantakan tapi masih bisa tergambar dengan jelas.

"Nggak maksimal. Kurang espreso dan susu cair panas," ucapmu.

"Rumit," celetukku. Kau kembali terkekeh lalu mengembalikan gelas itu ke hadapanku.

"Membuat latte tidak dengan sendok sebenarnya. Perpaduan antara espreso, susu cair panas,  krim susu kental, dan gula pasir harus sesuai untuk menghasilkan rasa yang enak serta gambar yang indah. Bukan hanya itu tapi juga kelihaian gerakan saat mencampurkan mereka. Prosesnya tidak asal mencampur semua bahan, namun espreso harus dilarutkan dulu yang sebelumnya sudah jadi bersama dengan susu cair panas. Setelah itu krim susu kental dan gula pasir dikocok lalu dituangkan ke atas larutan espresso dan susu panas tadi. Benar katamu. Rumit dan berbelit. Kata orang, sih, kalau kamu suka latte dengan melihat prosesnya dipastikan kamu juga merupakan orang yang serba ribet. Apalagi kalo kamu suka me-request latte art yang macam-macam. Misalkan gambar daun, hati, kucing dan lain-lain. Mau ini atau itu, kamu selalu memikirkan matang-matang. Kamu juga kurang tegas, sehingga pendirianmu mudah goyah karena latte mengandung lebih banyak susu yang bisa mempengaruhi kuatnya kopi. Selain itu kamu juga suka hal-hal manis dan kemungkinan besar kamu juga memiliki hati yang lembut," paparmu panjang diakhiri dengan senyum yang begitu manis.

"Oh, iya. Namamu siapa?" tanyamu lagi.

"Velatte. Vela Attesya."

"Wow! Vela dan Latte. Perfect!" Hatiku sebenarnya sudah terasa geli. Bagaimana tidak, kau adalah orang yang belum kukenal sama sekali tetapi kau bersikap seolah-olah sudah sangat lama mengenalku.

Aku kembali pada paparanmu tadi tentang latte. Entah kenapa semua penjelasannya tentang kepribadian dari seorang penyuka latte semuanya ada dalam diriku.

Aku masih hanyut dalam pikiranku sedang kau sudah berlalu begitu saja setelah pesananmu sudah selesai dibuat.

***

Awal yang manis, bukan? Dia yang tiba-tiba hadir dan mendadak jadi seorang filsuf latte, lalu aku yang secara tidak langsung dia gambarkan dalam latte itu.

Sudahlah. Ini hanya seduhan pembuka untukmu yang akan menerima hidangan dari kisahku. Bukan tanpa alasan aku mengenalkan sedikit sosok itu. Hanya saja biar kau tidak pusing bagaimana awal aku dan sosok itu bertemu. Yang jelas setelah hari itu, dia dan aku mungkin memang ditakdirkan untuk berada di satu atap sekolah. Mengenal satu sama lain, hingga kisah kopi pahit pun terjadi di hari kelulusan.

Benar. Semua telah berubah setelah hari itu. Benar-benar berubah. Meskipun kami masih berada di satu fakultas perkuliahan setelah kejadian itu, namun tak ada lagi latte hangat yang ia suguhkan padaku tiap hari. Dia sudah terasa sangat jauh dariku.

TBC

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang