Tegukan Kelima - Petaka Ayam Gosong

45 8 0
                                    

Tepat pukul sepuluh pagi, aku baru bangun dari tidurku. Tadi subuh aku pulang dari rumah sakit sekitar pukul empat karena jadwalku memang masuk malam. Begitu pun nanti malam. Seharusnya jam tiga sudah pulang, tetapi karena pasien yang membludak membuatku menunda se-jam waktu kepulanganku. Musim hujan membuat banyak orang terpapar penyakit demam berdarah. Mirisnya lagi kebanyakan dari mereka adalah anak-anak berumur sepuluh hingga tiga belas tahun. Inilah kenapa kebersihan sangat harus diperhatikan ketika sedang musim hujan.

Sepulang dari rumah sakit, aku hanya mencuci wajahku lalu tertidur tanpa melepas baju kerja yang masih melekat. Rasanya sangat lelah dan hanya butuh kasur untuk merehatkan lelahku. Aku segera masuk ke dalam kamar mandi setelah merapikan kasurku. Lagi-lagi harus merendam dengan air hangat.

***

Setelah mandi dan berbenah diri sebentar, aku langsung menunju dapur. Perutku sudah keroncongan membuat waktu mandiku terasa jauh lebih singkat. Tak ada bahan makanan untuk dimasak. Kulkas kosong selain sesaset susu yang masih tersisa begitu pun lemari tempatku menyimpan mi instan sudah kosong. Heh! Jangan heran, mi instan adalah sasaran empukku kalau sedang lapar tengah malam. Cuma seperti kata Vito, harus dibatasi.

Aku kembali melirik meja makanku. Ada setoples sereal di sana. Di kulkas juga masih ada satu saset susu yang belum kubuka. Tidak papalah sarapan ini saja dulu.

Aku menonton TV sembari menikmati semangkuk serealku di ruang tengah. Jam segini adalah waktu penayangan berita selebriti tanah air. Dari dulu memang aku lebih suka menonton tayangan ini kalau bukan berita ketimbang sinetron FTV tidak jelas.

Ponsel yang tergeletak di sampingku berdering bertepatan dengan serealku yang sudah habis. Aku meletakkan mangkuk yang sudah kosong ini ke atas meja di depanku sebelum mengambil ponselku.

"Ya, Vit?" kataku pertama kali. Tumben sekali dia bangun jam segini? Biasanya dia bangun tengah hari kalau full dinas malam.

"Lagi apa, sayang?" tanyanya. Suaranya serak. Mungkin dia baru bangun.

Kusandarkan punggungku ke sofa. Sebelah tanganku mengganti channel. "Habis sarapan. Kamu?" Bisa kudengar dengan jelas, Vito tengah menguap di seberang.

"Baru bangun, yang. Tapi lapar. Masakin, dong," rengeknya. Aku terkekeh. Sejak kapan Vito berubah menjadi sosok yang manja seperti ini? Aku mengambil mangkuk bekas sarapanku tadi lalu membawanya ke wastafel.

"Buat sendirilah. Badan sebesar kingkong begitu masa tidak bisa." Aku berjalan kembali ke sofa tempat dudukku tadi. Jarak dapur dan ruang tengah memang sangat dekat.

"Maunya kamu yang masakin. Sudah lama, loh, kamu nggak masakin aku. Terakhir seminggu yang lalu." Aku mencoba mengingat. Sepertinya memang benar.  Terakhir seminggu yang lalu waktu dia berkunjung ke apartemenku.

"Sekalian perayaan setengah tahun hubungan kita, yang." Aku menepuk jidatku. Ada apa dengan Vito?

"Babang Pito, kita ini bukan lagi ABG yang harus ngerayain hubungan tiap bulannya. Apa-apaan? Anniversary itu cuma kalau sudah setahun. Ih, kamu mabuk, ya?"

"Bukan gitu, sayang. Kan, sekalian saja. Ayoklah!" Aku melihat jam dinding. Baru pukul sebelas. Jadwalku juga masuk malam.

"Ya, sudah. Di sini juga tidak ada bahan masakan. Di sana ada, kan?" Aku mulai berjalan kembali ke dalam kamar.

"Ada, kok. Cuma, ya, seadanya. Aku nggak kayak kamu yang harus komplit."

"Um, aku ganti baju dulu kalau gitu."

"Oke, sayang. Mau tak jemput nggak?" Aku menggelengkan kepalaku seolah-olah Vito bisa melihatku. Tanganku sudah mulai mengotak-atik isi lemariku.

"Nggak usah. Aku bawa mobil sendiri. Lagian kamu belum mandi. Sana, mandi dulu. Aku nggak mau, ya, kalau pas aku nyampe di sana kamu masih bergelung dengan selimut."

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang