Tegukan Kedua - Galaksi di Balik Origami

43 10 0
                                    

Puluhan kertas berwarna ikut kubeli pagi-pagi buta hari ini.
Sambil duduk melantai aku mulai menggunting, melipat, dan menuliskan kata-kata di bagian tiap lipatannya.

Bentuknya lucu, sama seperti saat Vito sedang tertidur polos di ruangannya ketika aku berkunjung.
Dan warnanya juga cerah, sama seperti senyum Vito yang terbingkai di wajahnya.

Ini origami untukku sendiri. Entahlah, aku jadi mengingat hobiku di masa SMA. Jadi pagi ini, aku memutuskan untuk pergi ke supermarket hanya untuk membeli kertas berwarna ini sekalian untuk membeli bahan masakan.
Vito sendiri belum tahu kalau aku sangat suka membuat origami.

Sudah berapa banyak origami yang berhasil kubuat pagi ini?
Aku tak tahu. Setidaknya origami ini bisa mengobati rinduku padanya; biar pikiranku hanya terfokus padanya tanpa mengingat masa lalu.
Biarkan origami ini menjadi saksi betapa indahnya kisah kita saat ini.

Pagi ini aku hanya memakai pakaian santai. Hari ini Vito akan datang ke apartemenku. Sembari menunggunya, aku memutuskan untuk membuat beberapa bentuk origami lagi. Tak berselang lama, bel apartemenku berbunyi. Tanpa menunggu lama lagi, aku segera beranjak untuk membuka pintu.

Lelaki beralis tebal dengan bulu mata yang lentik itu sudah berdiri di depanku dengan memakai topi berwarna putih. Penampilannya juga terlihat lebih santai. Baju kaos berkera warna abu-abu serta celana jeans selutut membungkus tubuhnya yang memiliki tingga sekitar 182 cm.

"Pagi, sayang." Vito lebih dulu mengecup keningku sebelum kuajak masuk ke dalam.

"Itu di dalam paperbag isinya apa, Vit?" tanyaku setelah melihat paperbag dengan ukuran lumayan besar berada di tangan kirinya.

"Makanan."

"Loh. Katanya kita mau masak bareng?"

"Enggak jadi, sayang. Nanti hari lain, kan, bisa."

"Padahal aku udah nyiapin bahannya," kataku yang tak sengaja sudah mengerucutkan kedua bibirku.

Vito malah mengacak-acak rambutku. "Ya, sudah. Besok aja. Nggak usah ngambek kayak gitu, ah. Tambah cantik, kan, jadinya."

Satu pukulan berhasil mendarat di pundak Vito. Bukannya meringis kesakitan, ia malah terbahak-bahak. Ia mengambil sebelah tanganku yang masih terkepal.

"Ukuran tangan kecil segini mana sakit di badanku, sayang. Yang ada cuma kayak pijatan. Kalau kamu mau aku kesakitan, imbangin dengan ukuran tanganku." Aku semakin mengerucutkan bibirku. Aku melihat sebelah tangan kami berdua yang memang beda ukurannya sangat jauh. Aku memang bertubuh mungil. Meski sudah dua puluh lima tahun, berat badanku dari masa kuliah hingga kerja tidak mengalami perubahan yang siknifikan. Berat badan 40kg dengan tinggi 155cm memang bukanlah ukuran yang pas untuk wanita seumurku. Tapi syukurnya, kata orang aku memiliki wajah baby face apalagi dengan model poni yang mendukungnya.

Pernah sekali aku makan siang di sebuah restoran di dekat apartemen Vito. Seorang pramusaji mengira kalau Vito adalah Kakakku. Aku hanya terbahak-bahak sedangkan Vito mendesah kasar faktanya bahwa pramusaji itu terlihat menggodaku. Tapi sudahlah. Aku sama sekali tidak menyesal atau apa pun sejenisnya dengan tubuhku. Segala berkat bukannya harus disyukuri, bukan?

"Ih. Tambah gemes, deh, kalau gini. Nggak papa. Aku tetap mencintaimu dalam kondisi apa pun, kok." Vito mencubit bibirku pelan.

"Tangannya kotor Pito," ucapku sebal dengan mengubah huruf V dengan P.

"Vito, sayang. Bukan Pito. Beda jauhlah."

"Nggak papa. Aku juga tetap mencintaimu dalam kondisi apa pun. Mau Vito, kek atau Pito, kek. Bagiku sama saja," kataku meniru ucapan Vito sebelumnya.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang