Caramelly Empat - Permen Karet

79 9 0
                                    

Ketegangan yang berurai air mata tadi kini akhirnya menerbitkan senyum kala aku mendengar ucapan dokter Bagas kalau kondisi Vito baik-baik saja. Sekarang Vito sudah dipindahkan ke ruangan rawat. Aku hanya duduk di sofa, memperhatikan sosok laki-laki yang masih tertidur pulas karena pengaruh obat dengan wajah yang tidak mulus lagi karena ada beberapa luka akibat goresan aspal.

Tetes-tetes infus juga kuperhatikan dari tempatku duduk sambil bernafas lega. Sungguh! Aku tidak bisa menjabarkan bagaimana ketakutan serta kekalutanku tadi. Aku baru menyadari bahwa kejadian hampir menabrak kucing tadi adalah pertanda dari apa yang baru saja dialami oleh Vito. Aku mungkin saja percaya pada takdir. Kecelakaan Vito tadi adalah takdir, mungkin. Tetapi ini kejadian berputar di dalam menit yang belum menggantikan jam.

Aku mengusap kasar wajahku lalu mendekati brankar Vito. Kursi yang ada di sebelah brankar kutarik dengan sangat pelan agar tidak mengganggu pendengaran Vito. Tanganku dengan sangat pelan mengusap-usap perban yang ada di jidatnya. Aku yang memasangnya setelah dokter Bagas melakukan tugasnya. Kata dokter Bagas, ini tidak perlu dilakukan tapi aku yang ngeyel melakukannya sebab darahnya yang masih saja setia mengalir.

Luka lainnya ada di samping sudut bibirnya. Entah bagaimana permukaan aspal menggerogoti hampir separuh wajahnya meskipun delapan puluh persen luka di wajahnya adalah cuma goresan ringan yang tidak akan sampai meninggalkan bekas namun juga akan terasa nyeri apabila Vito sudah sadar nanti. Berbeda dengan lengan sebelah kanannya yang terbalut perban yang lumayan besar dan panjang. Kalau saja Vito memakai jas dokternya, bukan jas itu bisa meminimaliser luka yang ada tapi nyatanya semuanya terjadi begitu saja.

Masih ada satu yang sebenarnya masih kukhawatirkan. Yakni kaki sebelah kanan Vito yang mengalami cidera bagian dalam akibat benturan mobil tadi. Mungkin butuh waktu beberapa minggu proses terapi baru bisa kembali berjalan normal. Jelasnya bahwa hari-hari ke depannya, Vito membutuhkan kursi roda.

Di tengah lamunanku, pintu ruang rawat inap Vito terbuka menampilkan dua orang dengan raut wajah yang panik. Aku langsung berdiri dan memberikan mereka sedikit senyum menenangkan.

"Bagaimana kondisi Vito, Nak?" tanya wanita paruh baya yang tak lain adalah Ibu Vito. Aku kembali ingat kalau pihak rumah sakit tadi sudah menghubunginya.

"Vito baik-baik saja, Tan," ucapku ramah lalu menyalaminya terlebih dahulu begitu pun Ayah Vito.

"Kenapa dia belum sadar?" Ayahnya kemudian yang bertanya.

"Cuma pengaruh obat, Om. Sebentar lagi juga Vito bangun, kok." Keduanya mengembuskan napas lega.

Ibu Vito mendekati aku, mengusap wajahku dengan tatapan yang menenangkan meskipun masih menyisakan kekhawatiran.

"Terima kasih karena sudah ada buat Vito. Ternyata kamu jauh lebih cantik dari foto yang sering Vito kirimkan pada Tante. Dia suka iseng, kirim foto jelek kamu," kekehnya namun aku tahu dia hanya mencoba mengurangi kekhawatiran yang ada.

"Benar, tuh. Vito bahkan pernah kirim foto kamu yang makannya lagi belepotan. Katanya gini, singa lapar lagi makan. Gitu katanya." Aku menoleh kepada Ayah Vito lalu tertawa meskipun sejatinya aku malu.

"Benar, Om?" tanyaku.

"Iya. Tadi malam saja waktu kami makan malam, dia juga ngirim foto kamu. Tidur sambil mengap itu. Katanya gini, kalau wanita tidur itu kayak bidadari yang baru saja bangun. Segar lihatnya. Gitu," kata Ayah Vito.

Aku hanya tertawa dengan kedua telinga yang semakin terasa panas. Aku jadi ingat postingan itu.

"Ada-ada saja. Duduk dulu Om, Tan." Keduanya segera duduk di sofa yang ada di ruang rawat Vito. Aku memilih duduk di kursi yang ada di samping brankar Vito.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang