Delicate Dua - Ada Rasa Lain

34 7 0
                                    

Ini tak ada bedanya dengan apa yang masa laluku saksikan beberapa tahun silam. Tentang bagaimana sosok Velatte dilukai untuk ke sekian kalinya namun tetap berdiri di atas kakinya yang bahkan sudah terseok-seok. Kenapa hati yang dicintai hanya menciptakan luka? Kenapa yang tulus malah semakin tenggelam dalam kepedihan? Kenapa di saat aku mulai membuka jeruji yang sudah lama memenjaraku, yang kutemui di luar hanya kesakitan yang bukan lagi memenjara namun sudah mengubur batinku hingga tak menyisakan ruang sedikit pun? 

Air mata yang merembes seakan tidak ada artinya. Sebab, tak ada yang mengerti akan tiap lara yang berada di tiap tetesannya. Aku mencoba menghirup udara segar, biar sesak yang tertahan bisa segera terhalau namun yang ada, udara yang kuhirup juga seolah-oleh ikut menghimpitku. Rasanya terlalu lelah untuk percaya kepada semesta dengan laut kebohongan yang tak memiliki ujung di dalamnya.

Mungkin ini adalah bukti bahwa aku juga kuat. Di saat kakiku masih bisa berdiri dengan tegak padahal di bawah kakiku ada ribuan jarum yang siap menusukku setiap aku berpijak. Ada lelehan darah yang siap terjejak kala aku beranjak.

Aku menutup mataku. Membiarkan air mataku kembali merembes. Aku seolah tuli di tengah bisikan-bisikan kesakitan yang diperdengarkan di telingaku.

Decitan pintu terdengar adalah bukti dua orang itu sudah pergi dari ruanganku. Ini yang menyakitkan di saat aku merindukan temu namun yang kujumpai hanyalah apa yang bahkan tidak ingin kusaksikan. Ini adalah tangis ke sekianku setelah sekian lama tidak berurai air mata lagi. Bodohnya adalah kau yang kutaruh harapku padamu hanya kembali menjadi pembuat luka setelah masa laluku hampir kau sembuhkan sepenuhnya.

Apakah ini adalah bagian dari permainanmu? Membasuh lukaku hingga hampir mengering supaya di hari ke sekian kemudian, kau memiliki hak untuk menggores luka lebih dalam lagi? Baru saja aku menghirup udara segar setelah sekian lama hanya dihimpit oleh sesak namun hari ini tepat di saat temu sudah berada di depan mataku, ruang yang di pelupuk mata tak kujumpai udara di dalamnya kembali memakuku.

Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja untuk menyembunyikan air mataku dari semesta atas perlakuannya padaku serta meredam isak tangisku agar tidak diperdengarkan oleh angin pada telinga yang baru saja melukaiku. Namun pundakku malah semakin bergetar. Kenapa kesakitan ini jauh lebih sakit dari apa yang pernah terjadi di silam masa laluku?

Aku kembali duduk tegak di saat kepalaku ada yang mengelusnya. Orang itu kembali datang bahkan tanpa suara. Aku hanya menatapnya nanar dengan lelehan air mata yang masih berbekas. Kembali padaku untuk apa? Kenapa tidak bersama wanita tadi? Ia berjongkok di sampingku, memutar kursi kerjaku hingga mataku bisa berpapasan dengan matanya langsung.

"Jangan menangis," ucapnya. Ia menghapus air mataku pelan. Lagi-lagi dadaku terasa diremas apabila melihat kedua bola matanya yang juga memancarkan luka dari dalam. Namun di sisi lainnya, aku menertawakan diriku sendiri. Barangkali aku sudah dikasihani. Segitu apiknya sebuah permainan asmara.

"Aku bisa menjelaskan siapa wanita tadi. Tapi aku mohon, kamu jangan menangis. Itu hanya akan melukaiku," pintanya. Dari nadanya sepertinya ia memohon padaku. Aku jadi berada di ambang-ambang ketidakpastian hatiku. Antara ingin merengkuh orang di depanku untuk mengobati rinduku, atau berlari jauh untuk mengobati lukaku.

"Please! Berhenti menangis. Kamu salah paham saja. Biar kujelaskan semuanya tapi tolong, jangan menangis. Aku sama sekali belum pulang ke apartemen demi menemuimu. Aku merindukanmu. Aku juga ingin menebus salahku." Ia menggenggam tanganku. Lagi-lagi air matamu terasa merembes. Benarkah?

"Yang tadi namanya Avi. Dia juniorku dulu di SMA. Namun saat kuliah dia pindah ke desa di mana aku ditempatkan. Dia anak tunggal, sama seperti aku. Orang tuanya meninggal saat bencana longsor kemarin. Di sini dia memiliki Tante. Untuk itu dia ikut denganku. Jangan berpikiran negatif, sayang. Aku hanya ingin membantunya. Hanya sekadar itu. Aku sangat mencintaimu. Sangat."

Vito memandangku teduh setelah menjelaskan semuanya. Ada sesuatu yang sedikit terangkat saat mengetahui kalau wanita itu bukan siapa-siapanya Vito. Namun tetap. Kehawatiranku lebih mendominasi. Seperti Vito yang meninggalkan aku.

"Kamu percaya sama aku, kan?" tanyanya. Aku hanya diam. Aku menghapus air mataku lalu menghirup udara dalam-dalam. Vito masih setia melihatku namun aku segera mengalihkan ke arah pintu ruanganku. Tak menyerah, Vito lagi-lagi menangkup pipiku membuatku menghadap kembali padanya.

"Kamu nggak percaya sama aku? Perasaan aku utuh, semuanya untuk kamu."

"Sayang," katanya. Aku masih diam. Setelahnya, aku hanya merasakan tubuhku yang sudah ada dalam dekapannya. Vito memelukku kembali. Tangannya menyisir pelan rambutku.

"Kamu salah sayang kalau kamu meragukan cintaku sama kamu. Apa kamu lupa? Kita sudah komitmen sama-sama dan aku akan berusaha untuk menjaga komitmen itu. Jangan buat aku takut. Kamu meragukan aku sama saja meruntuhkan kepercayaan diriku," katanya tepat di samping telingaku.

Aku yang cepat terenyuh perlahan menaikkan kedua tanganku pelan-pelan hingga bisa membalas pelukannya tak kalah erat. Wajahku kutenggelamkan di depan dadanya membayar semua rindu yang sudah menumpuk serta mengubur kembali kekecewaan yang baru saja mencuat. Kurasakan Vito mencium puncak kepalaku berkali-kali.

"Aku kangen banget sama kamu. Selama di sana aku tidak pernah tidur nyenyak apalagi pasien yang banyak. Mana hpku jatuh di pagi hari setelah pembicaraan terakhir kita dan rusak total. Maaf, ya." Aku melepas pelukanku lalu mendongak untuk menatap wajahnya yang juga sedang melihatku. Raut wajahnya kembali menenangkan. Namun, di bawah matanya ada lingkar hitam yang menandakan bahwa laki-laki yang di depanku ini memang kurang istirahat.

Tanganku mengusap pelan lingkar hitam itu membuat Vito menutup kedua matanya. Tangannya ikut menangkup tanganku.

"Aku percaya sama kamu. Cuma aku hanya takut kalau-kalau yang tadi itu adalah orang lain di antara kita. Aku tahu, kamu pasti paham apa maksudku," ucapku serak.

"Kamu tidak perlu takut sayang. Alasanmu tidak mendasar. Aku sudah menjelaskan siapa dia dan kenapa dia bisa ada di sini. Cukup percaya sama aku dan enyahkan setiap pikiran negatif yang ada di sini," ujarnya. Tangannya menepuk-nepuk kepalaku pelan. Aku menyunggingkan senyum tipisku lalu kembali memeluknya erat. Kudengar Vito hanya terkekeh tetapi masih membalas pelukanku.

"Kangen banget sama Babang Pito, ya?" tanyanya menggoda.

"Iya, kangen," jawabku. "Ngomong-ngomong urusanmu sudah beres di sana? Harusnya, kan, kembalinya besok, bukan sekarang," sambungku.

"Sudah, kok. Sebenarnya masih ada beberapa orang yang membutuhkan penanganan khusus tetapi di sana juga ada tenaga medis dari daerah setempat. Jadi kami bisa pulang lebih awal," jelasnya. Aku mengangguk mengerti lalu melepas pelukanku.

"Pasti capek banget. Matamu juga ada pandanya."

"Hehehe, iya. Kepikiran sama kamu terus, sih. Apalagi hpku, kan, rusak jadi kebayang wajah cemberut dan bibir manyun kamu terus," kelakarnya. Aku menimpuk pelan pahanya.

"Enak saja. Aku cuma khawatir kalau kamu ada apa-apa di sana. Untung ada Valen sama Ibuk yang menjadi peralihanku kalau pikiran-pikiran aneh kembali menghantuiku."

"Eh, Ibuk sudah datang di Jakarta?" tanyanya. Aku memang pernah membahas ini pada Vito sebelumnya namun saat itu belum ada kepastian kapan ia akan datang.
"Iya. Besoknya setelah kamu berangkat."

"Oh. Baguslah kalau kamu ada teman selama aku tidak ada di sini. Terus boleh, dong, kalau misalkan aku ketemu sama mereka?"

"Boleh. Ibuk juga mau ketemu sama kamu."

"Ya, sudah. Sekalian meminta restu langsung pada beliau. Atau sekalian lamaran kali, ya, yang?" godanya menaik-naikkan alisnya. Satu pukulan kembali mendarat di pahanya.

"Malah dipukul. Aku serius, loh. Lagian aku memang mau nikah cepat. Buat apa lama-lama pacaran kalau memang tujuannya  buat nikah? Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus siap jadi istriku dan memang hanya harus kamu."

Aku terdiam sekejab. Sesaat aku teringat dengan ucapan Ibu di hari pertama ia sampai di apartemen. Aku menatap mata Vito serius.

"Vit?"

"Hm?"

"Ibuk bilang kalau kamu sudah balik dari luar kota, kita harus sudah bikin keputusan tentang rencana kita ke depan. Emm... maksud aku pernikahan mungkin."

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang