Tegukan Keenam - 30 Menit

58 10 0
                                    

Musim hujan memang selalu identik dengan banyaknya bencana-bencana alam yang terjadi. Tanah longsor adalah salah satu contoh terdekatnya. Sejak minggu ini, Brilliants Hospital selalu ramai pasien. Bukan lagi dominan anak-anak tapi sudah dari berbagai golongan umur. Untungnya Brilliants Hospital memiliki fasilitas yang memadai serta tenaga medis yang tidak kekurangan sehingga bisa meminimalisir keluhan-keluhan dari berbagai pihak. Utamanya adalah mencapai tujuan, yakni menyembuhkan sesegera mungkin.

Beberapa tenaga medis di tempatku bekerja juga diutus ke beberapa pelosok desa di Jawa Barat karena insiden tanah longsor yang terjadi di beberapa titik di sana dua hari yang lalu. Belum lagi banjir yang malah membuat masyarakat juga banyak yang tumbang. Menurut laporan, di sana sedang membutuhkan tenaga medis . Oleh sebab itu, sesuai dengan arahan direktur rumah sakit yang memang barasal dari sana dalam rapat besar kemarin, hari ini adalah keberangkatan beberapa tenaga medis yang bertugas. Salah satunya adalah Vito sendiri. Aku tidak ikut karena kepercayaan direktur padaku untuk menangani pasien yang ada di rumah sakit Brilliant bersama dengan tenaga medis lainnya yang tersisa.

Aku mengembuskan napasku setelah melihat Vito sudah siap dengan kopernya yang berwarna hitam. Saat ini aku sedang berada di ruangannya. Tiga puluh menit lagi waktu keberangkatannya.

"Jangan pasang muka kusut gitu. Masih ada tiga puluh menit sebelum aku berangkat." Vito menyelipkan rambutku ke belakang telinga kemudian mengusap-usap kepalaku.

"Di sana susah jaringan. Tidak bisa video call-an," sahutku memainkan jemariku. Rasanya aku tidak mau berpisah dengan Vito bareng sedetik pun. Mungkin karena dia yang selalu membuatku nyaman atau karena aku yang sudah teramat mencintainya.

Vito menangkup kedua pipiku dan menatapku dalam. Mata tajamnya menatapku teduh. "Kamu nggak usah khawatir. Nanti aku usahain cari jaringan buat nelpon biasa ke kamu."

"Kalau tetap nggak ada?" lirihku.

"Pasti adalah. Nggak mungkin tidak. Ya, cuma itu lagi. Susah. Tapi bukan berarti nggak ada." Vito memindahkan tangannya beralih menggenggam erat telapak tanganku.

"Awas saja kalau tidak," peringatku. "Semua barang-barangnya udah ada di koper, kan?"

"Sepertinya sudah. Kan, kamu yang susun semalam." Vito memang menjemputku semalam dan setelah sampai di apartemennya aku menyusun segala perlengkapannya selama seminggu di sana.

"Ya, sempat aja ada yang perlu ditambahin," ujarku lagi.

"Ada, sih." Aku menoleh cepat ke arahnya sembari menaikkan sebelah alisku.

"Apa?"

"Wajah kamu." Aku sontak mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke wajah Vito. Vito langsung mengadu kesakitan.

"Sakit, sayang." Tangannya mengucek matanya. Sepertinya aku terlalu keras melemparkan batal sofa itu sampai mengeluarkan air mata juga. Aku mendekat ke arahnya.

"Sini coba lihat." Tapi tangannya terus-terusan mengucek matanya membuatku greget sendiri.

"Lepas dulu!" sentakku. Ia perlahan melepas tangannya dan benar saja. Matanya berair.

"Tiupin," pintanya pelan. Aku perlahan membuka matanya pelan dan meniupnya dengan sangat hati-hati. Berapa kali tiupan, Vito sudah memberi intruksi padaku untuk berhenti.

"Gimana?" tanyaku. Vito mengedipkan matanya beberapa kali.

"Udah enggak perih. Kamu, sih."

"Maaf. Habisnya kamu bercandanya aneh." Tanganku mengambil tisu yang ada di saku jas dokterku lalu mengelap sisa air mata Vito.

"Biar kangennya gak ketulungan, sayang," ujar Vito cengengesan.

"Halah. Gombal terus," decakku. Aku membuka tas kerjaku lalu mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna kuning dari dalam.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang