Seduhan Pembuka - Bukan Siapa-siapa

122 19 2
                                    

Sambil baca, voment juga, ya.
Happy reading!

―――――――

Malam ini, hujan menangisi bumi. Mungkin ia juga tahu, sesesak apa batinku sekarang. Kota tempatku tinggal pun sedang mendekam dalam gelap. Mungkin ia pun membiarkan aku untuk lelap dalam sendiri. Sedang di luar, petir sedang menyandungkan lagu pelipur lara lewat sahutan-sahutan yang begitu memekakkan telinga. Mungkin ia membiarkan amarah yang ingin kulampiaskan diambil alih olehnya.

Aku hanya menatap lilin di atas nakasku yang sudah perlahan habis termakan oleh apinya. Entah sudah berapa lama aku duduk di meja belajar ini. Di samping lilin itu berdiri, terletak dengan jelas foto aku dan kau saat kita tengah merayakan hari valentine saat masih di dunia abu-abu. Aku hanya ingin sekali menertawakan diriku kala mengingat kejadian tiga tahun yang lalu; saat semuanya beranjak berubah; saat aku dan kau sudah mulai  perlahan tak seerat dulu lagi hanya karena sebuah upaya pencetusan sebuah rasa. Ternyata sebuah rasa bisa mengubah seseorang bahkan bisa merenggangkan hubungan yang eratnya sudah tak terbilang berapa kali kuat kekuatannya.

Inilah yang aku dan kau alami sekarang ini. Tapi aku seolah buta dan tuli. Aku yang tak pernah melihat, seberapa inginnya kau lepas dari rasa yang menjerap. Aku yang tak pernah mau mendengar, seberapa inginnya kau menyadarkan aku bahwa kali ini tindakanku adalah salah.

Maaf, saat ini aku baru sadar. Aku bodoh. Aku memaksakan hal yang pada akhirnya akan menciptakan luka untukku sendiri. Kau benar. Aku dan kau bukanlah siapa-siapa dan tak akan pernah menjadi apa-apa. Hanya saja, orang bodoh ini yang terus mengada-ada bahwa aku dan kau adalah lebih dari sekedar bukan siapa-siapa.

Aku terus meyakini pengadaan yang kucipta itu. Hingga pada akhirnya pun, aku yang paling terluka. Sebab, aku dan kau memang tak akan pernah bersatu dan aku sangat tahu itu. Hanya saja, kebodohanku yang terus memaksa aku untuk terus berpura-pura tidak tahu akan hal itu.

Percayalah, aku belum siap untuk merasakan sakit. Aku terus termakan ilusiku yang membuatku merasa bahwa kau hanya milikku setelah pikiranku kembali melambung tinggi atas setiap sikapmu padaku yang dalam batas ketidakwajaranku selain lebih dari siapa-siapa. Sampai tak sadar, aku mulai menyeberangi batas yang seharusnya sudah menjadi garis merah untukku.

Tapi nyatanya itu semua salah dan inilah kenyataan pahit yang kembali menelanku; bahwa pada akhirnya hanya akulah yang terpaku di balik drama yang kulakoni. Ilusiku menelanku hidup-hidup dan dramaku memainkan Tuannya sendiri. Ini yang kumaksud bahwa berada di dekatmu seakan aku sedang membangun dunia lain yang di dalamnya memang hanya ada kau dan aku. Tapi seketika dunia ilusi itu runtuh, impian indah yang baru saja hangat tersuguhkan pun lenyap termakan pekatnya malam.

Di saat kau tengah-tengah menebar senyum pesonamu aku malah sibuk menjahit dinding-dinding hatiku yang telah aku cabik sendiri dengan memberinya harapan yang tak akan pernah memiliki peluang. Aku berdarah di atas tawa yang kau kumandangkan pada semesta. Aku meringis di atas guyonan yang kau tawarkan pada kawananku. Hingga aku pun tertunduk di atas bahagia yang telah kau raih bersama dengan seseorang yang sedari dulu mungkin saja kau impikan; yang jelas bahwa orang itu bukanlah aku.

Kuhapus kasar air mataku yang kian keberapa kalinya terjatuh dari pelupuknya. Rupanya tawa mirisku belum berakhir setiap mengingat kala-kala indah bersamamu.

Kau ingat masa di mana kau dan aku sibuk menyiapkan segala berkas untuk masuk di universitas paling bergengsi di negeri ini? Kau dan aku masih saling melengkapi. Apa pun hambatan ataupun kesusahan adalah keharusan untuk menyelesaikannya bersama. Dan yang paling kuingat kala kau bingung mengambil jurusan apa.

"Ambil aja kedokteran, samaku," ucapku spontan. Pikirku hanya bercanda menawarkan padamu untuk mengambil jurusan yang sama denganku; kedokteran. Barangkali mau.

Sebuah keberuntungan bagiku kala kau dengan sigap merespon ucapanku. Kau langsung meng-klik dan menyelesaikan pendaftaranmu.

Aku sangat bangga. Senang luar biasa. Tanpa sadar pun aku langsung memelukmu. "Kyaaa!! Terima kasih," teriakku.
Mungkin pikiranku saat itu masih hanya sebatas seorang calon mahasiswi yang dalam memilah keadaan pun masih rentan.

"Kenapa kau memilih kedokteran?" celetukkmu lagi tiba-tiba sesaat aku melepas pelukanku dari badanmu yang berotot.

Aku segera menaikkan wajahku agar bisa melihatmu yang tingginya jauh di atasku. Aku melebarkan senyumku. Lebih lebar dari ukuran bulan sabit hingga mataku pun ikut tertelan. "Aku hanya ingin merawat mereka yang terluka. Lalu kau? Kenapa mau saja kusuruh untuk mengikuti jejakku?" Giliranku bertanya.

"Gak mau pisah samamu." Hanya itu. Empat kata itu berhasil menerbangkan jauh pikiranku layaknya seorang pemakai narkoba. Berbekal itu pula aku semakin yakin bahwa ini adalah awal dari takdir kau dan aku yang memang diharuskan bersama.

Dan inilah yang aku lupa. Tak ada yang bisa menjamin perasaan seseorang akan tetap sama tiap waktunya. Buktinya, tiga tahun bersama tidak memberikan aku kepastian ke mana arah status kau dan aku sebenarnya. Bahkan di bulan keempat tahun ketiga ini, kau sudah terang-terangan memperlihatkan kebersamaanmu dengan wajah perempuan lain. Apa dia yang menjadi alasanmu, kenapa kau mati-matian menutup dirimu padaku? Jika iya, kenapa tidak mau mencoba jujur padaku?

Kenyataan pahit itu berhasil meludahi harapku. Pantas saja saat aku tengah membahas masalah 'kita', kau bahkan pura-pura tak mengerti. Kerap kali kau mengubah pembahasan. Jadi, ini yang kau mau buktikan padaku. Keberadaanku selama ini ternyata tak akan mengubah apa pun, termasuk rasamu padaku. Aku selalu menertawakan diriku sendiri. Aku belajar apa pun tentang ilmu kedokteran tetapi masalah hati sendiri tak mampu kuobati. Aku memang lemban, bahkan menyudahi tatapanku padamu pun aku tak bisa. Bagaimana aku bisa sembuh dari patah hati ini?

Aku mengembuskan napasku pelan. Kusudahi perang batin yang selalu membuat sesak ini. Aku segera menyalahkan lampu kamar yang menggunakan daya beterai itu. Kumatikan lilin lalu beranjak naik ke atas kasurku. Lampu belum saja menyalah. Tapi, biarlah. Aku tak mau seisi dunia tahu kalau netra yang rapuh ini tengah bermandikan air mata.

Aku menekuk kedua lututku. Benar-benar seperti ingin melindungi diriku. Entah melindungi diri dari apa. Hati? Ia baru saja luluh lantak. Rasa? Ia baru saja dipatahkan. Lalu apa lagi?

Aku menarik napas kasar, membiarkan udara menembus himpitan yang membuatkan susah bernapas. Aku siap untuk hari esok. Hari di mana semuanya akan beranjak berubah setelah kuambil alih kendalinya. Bukan lagi situasi yang mengendalikan aku. Semoga hati yang masih berdarah ini, lebih kuat lagi atas irisan-irisan yang akan diterimanya di kemudian hari. Atau kubiarkan saja? Sebab, mungkin aku dilahirkan hanya untuk menyesap dan mencicipi luka.

Netraku pun perlahan tertutup. Aku siap menyelami mimpi yang di sana bisa kujumpai bahagia.  Membiarkan bayangku kembali berdamai dengan sosok yang baru saja melukaiku sebagai penutup atas semua kisah haru hari ini.

Untuk kali terakhirnya, maafkan orang bodoh ini bila saat ini, rasanya masih tetap saja sama. Mencintaimu, misalnya.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang