Delicate Enam - Lengkungan

53 10 1
                                    

Semesta terlelap. Segala riuh suara yang memekakkan telinga lenyap mendekam dalam sepi. Ruang terasa hampa. Cahaya temaram hanya kilas membelah penglihatan dan angin yang berembus pun jua seadanya. Sepertinya semesta kini benar-benar memberi kesempatan. Sepertinya semesta kini benar-benar menuntutku untuk menahan langkahku yang akan menjauh. Sepertinya semesta kini benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hingga saat ini, aku diperhadapkan dengan sosok lelaki yang baru saja menambal luka baru; hingga saat ini, aku bisa menatap matanya yang penuh dengan penyesalan; hingga saat ini, aku hanya mendapati pundaknya yang merosot.

Satu jam duduk di taman ini tak membuat salah satu suara di antara kami terdengar. Benar-benar sunyi. Aku akhirnya lelah sendiri. Aku beranjak untuk berdiri, meninggalkan laki-laki yang hanya diam itu. Aku tidak menuntutnya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa kusuruh pun, seharusnya dia lebih paham apa yang seharusnya ia lakukan. Aku rela membuang waktuku enam puluh menit di sini, berselimutkan angin, dengan perut yang kosong pula hanya demi sebuah pengakuan (jika saja ia sadar). Tapi rupanya aku salah, hatinya tak bergerak sama sekali. Aku jadi menyesal membawa pulang Valen ke apartemen hanya karena lelaki ini memohonku untuk berbicara sebentar.

Aku membalikkan badanku, menatap mata yang sepertinya sudah sangat terluka itu saat mencekal sebelah tanganku yang hendak menyeberangi jalanan besar. Ia menarikku sedikit kasar membuat langkahku kesusahan juga.

Sesampainya di kursi semula, ia langsung memelukku. Terkesan kasar dan sepertinya ada amarah terselip di dalamnya. Kenapa sikapnya ini justru terbalik dengan apa yang akan aku lakukan?

"Kumohon, dengarkan semua penjelasanku dulu." Aku melepas tautan tangannya lalu memberi sedikit jarak di antara kami.

Aku menghela napas pada akhirnya, menatap taman sekitar lalu kembali melihat ke arahnya. "Jika bahagiamu ada pada masa lalumu, aku siap untuk kehilangan lagi. Aku nggak papa. Bahagia memang bukan untuk dipaksakan, kan? Setidaknya kau sudah memberi warna baru dalam hidupku. Itu sudah jauh lebih cukup."
Ia mengikis jarak di antara kami. Tangannya mengambil sebelah tanganku dan menggenggamnya dengan sangat erat. "Aku hanya butuh waktu kamu untuk menjelaskan semuanya. Tolong, sayang."

Telingaku sudah tak enak sendiri mendengar panggilannya. "Enggak papa. Kita istirahat dulu saja, ya. Kita belajar dulu memperbaiki diri masing-masing. Aku nggak mau kalau kau ada bersamaku tetapi nyatanya kau belum membersihkan masa lalumu."

Aku duduk setelah melepas genggaman tangannya lagi. Ia pun juga ikut. Bedanya dia duduk menghadap aku.

"Aku tidak mau melepas kamu. Dia bukan siapa-siapa aku, Sya. Aku udah pernah bilang ini sebelumnya."

"Sudahlah. Nggak usah egois. Aku hanya butuh sendiri untuk saat ini. Ternyata untuk kembali terluka, aku belum terlalu kuat." Aku tertawa renyah namun sudut mataku sudah mulai berair.

"Kamu yang egois, Sya!" katanya tegas. Aku menoleh cepat ke arahnya. Mata kami bertubrukan.

"Egois dari sisi mana? Bukannya kau yang egois? Mendekap dua wanita bersamaan?" tanyaku sinis. Helaan napas kasar terdengar.

"Kamu egois. Kamu nggak mau mendengar penjelasanku. Sejak awal aku ingin menjelaskan semua ini tapi kamu tidak mau. Aku ke apartemenmu pun kamu tidak membiarkan aku menjelaskan semuanya. Bukannya itu yang dinamakan egois?"

Aku lagi-lagi tertawa renyah. "Mungkin bagi kau, itu egois. Tetapi buat aku, itu sudah sepantasnya dilakukan oleh orang yang pernah merasakan luka yang teramat dalam di waktu yang lama. Kau tentu saja tidak tahu karena kau tidak bisa merasakan bagaimana peliknya posisiku di saat aku masih diperbudak oleh luka hanya karena sebuah pencetusan sebuah rasa." Aku menghapus sudut mataku yang berair. Rasanya masih sesak apabila aku mengingatnya kembali.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang