Caramelly Dua - Bisikan

42 9 0
                                    

Lagu sepanjang perjalan mengisi suasana di mobil. Masih kusempatkan diriku berkunjung ke rumah sakit setelah hampir setengah hari mengajak Valen dan Ibu berkeliling Jakarta walau pada nyatanya mereka pasti bosan tapi setidaknya mereka tidak hanya mengurung diri di apartemen. Vito dengan senang hati juga ikut menemani Ibu jalan-jalan.

"Kamu nggak capek, Vit?" tanyaku melirik Vito yang tengah sibuk mengendalikan setir mobilnya.

"Capek kenapa?" tanyanya balik.

"Ya, nemenin aku jalan-jalan sama Ibu, terus ngantar aku ke rumah sakit. Sekarang malah jemput juga." Vito melihat ke arahku sebentar sebelum kembali fokus pada jalanan di depan.

"Kalau aku capek, sudah pasti aku istirahat. Justru aku senang bisa ngabisin waktu bareng kalian."

Aku ikut tersenyum sebelum menyandarkan kepalaku di pundaknya. Tangan Vito sebelahnya merangkulku dari samping.

"Nggak usah rangkul-rangkul, ih. Bahaya!" tegurku melepas tangannya.

"Lah? Kamu sendiri yang nyender-nyender duluan. Emang aku kursi?" Sejak kemarin, tanganku memiliki hobi baru. Yakni mencubit pinggang Vito atau bukan lengannya.

"Cubit terosss. Masih dilihatin," sahutnya. Aku hanya tertawa ringan.

"Kamu, sih. Yey! Sampai." Aku langsung membuka pintu mobil Vito lalu keluar disusul oleh Vito. Kembali, kami beriringan menuju apartemenku. Sekarang sudah pukul enam. Tentu saja, aku akan mengantar Ibu dan Valen menuju bandara. Vito akan ikut seperti katanya kemarin.

"Sudah pulang kalian?" tanya Ibu pertama kali begitu aku membuka pintu apartemen.

"Iya. Lagian cuma ngecek sebentar. Valen mana?"

"Tuh, tidur di sofa. Capek kali. Duduk dulu, Nak," kata Ibu pada Vito.

Aku langsung beranjak mengambil dua minuman kaleng yang ada di kulkas. Satunya aku kasih Vito. Cuaca memang panas hari ini.

"Langsung ke bandara aja, Buk? Belum check-in. Takutnya juga macet di jalanan."

"Iya. Lagian semuanya juga sudah beres. Ibu jadi bawanya dua koper padahal waktu ke sini cuma satu aja sama tas kecil Valen." Koper lainnya itu berisi oleh-oleh yang mau dibawa Ibu. Kebanyakan barang Valen. Lego dan semacamnya.

"Nggak papa. Ntar rempong kalau nggak pake koper."

"Oke. Ibuk ambil jaket Valen di kamar dulu."

"Kamu nggak sedih?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan Vito.

"Sedih kenapa? Kan, emang sudah biasanya juga gini. Emang, sih. Ibuk pulangnya lebih cepat dari yang biasanya tapi mau bagaimana lagi."

"Ya, syukur juga kamunya. Kapan-kapan, deh, kita yang ngunjungin Ibuk aku," kata Vito. Ia meremas botol kaleng yang sudah habis isinya itu sebelum membuangnya di tempat sampah.

"Kalau cuti bisa, Vit."

"Bisa diatur."

"Vito bisa gendong Valennya ke mobil?" tanya Ibu yang baru saja kembali dari kamar.

"Bisa, Buk."

"Ya, udah. Kita berangkat sekarang."

Aku mengambil salah satu koper Ibu dan juga tas punggung Valen lalu menyusul Ibu dan Vito yang sudah lebih dulu keluar dari apartemen. Aku menggunakan mobilku kali ini karena mobil Vito tidak memiliki garasi.

"Aku yang nyetir, ya, sayang?" Aku mengangguk dan segera memberikan Vito kunci mobilnya. Aku duduk di depan sedangkan Ibu duduk di belakang bersama Valen yang masih lelap dalam tidurnya. Untunglah jalanan tidak terlalu padat dan Vito juga tidak bisa diragukan soal selip-menyelip kendaraan lainnya. Aku menoleh ke belakang lalu memutar badanku sedikit hingga bisa menggapai pipi Valen. Dengan gemas kucubit pelan pipinya yang bulat itu.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang