Delicate Tiga - Arrhythmia

38 7 0
                                    

Permasalahan yang hadir sekejab kembali lenyap. Rasa cemas yang kilas meresahkan sudah mereda. Ada kelegaan dan ruang hati kini rasanya kembali damai; tak ada sesak lagi yang menghimpit. Aku melirik ke arah sofa di mana Vito sedang tertidur pulas di sana. Nampaknya dia benar-benar kelelahan dan kurang istirahat.

Aku masih setia berada di depan laptopku, menyesuaikan laporan setelah visit dari jurnal pemeriksaan dengan yang ada di laptop. Aku merenggangkan tanganku sebentar. Kelamaan duduk dengan pekerjaan yang hanya membutuhkan jari dan mata yang bergerak sana-sini juga membuat badan rasanya remuk. Frekuensi pasien yang masuk di dua hari terakhir ini sudah menurun. Sudah banyak juga pasien yang bisa pulang. Tentunya pun aku semakin lega dengan kepulangan para tenaga medis yang ditugaskan ke Jawa Barat. Sebab, pekerjaanku akan tak sepadat kemarin.

Telepon di mejaku berdering. Aku segera mengangkatnya setelah menggeser sedikit kursiku.

"Halo! Dengan dokter Vela. Ada yang bisa saya bantu?" sapaku pertama kali.

"Halo, dok. Ini Miranti dari farmasi," balasnya di seberang. Aku menegakkan dudukku. Oh, farmasi.

"Iya, ada apa?"

"Mau ACC obat, dok. Pasien dari ruangan Merpati atas nama Siska Amira."

Aku membuka jurnal yang ada di mejaku dan mencari nama-nama tersebut. "Oh, kondisi terakhirnya panas sama mual, ya?" tanyaku memastikan.

"Iya, dok. Papaverin dan Paracetamol?"

"Oke, ACC. Tapi pastikan kembali. Apakah beliau sudah tidak ada lagi masalah dengan saluran pernapasan. Kalau misalkan masih ada, coba rekomendasikan eritromisin," jelasku.

"Baik, dok. Terima kasih untuk waktunya."

"Sama-sama."

Setelah telepon tertutup, buku jurnal kembali kututup dan menaruhnya di tempat buku-buku laporan yang lain. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Ada baiknya sekarang aku bersiap-siap. Aku masuk ke dalam toilet untuk berbenah seperti biasanya sebelum pulang ke apartemen.

Aku mendekat ke arah sofa di mana Vito tertidur. Dia masih setia memejamkan matanya padahal sudah dua jam lamanya. Tanganku menyentuh rahangnya pelan lalu naik ke atas jidatnya, menyugar bagian depan rambutnya yang sudah memanjang. Sudah waktunya ia potong rambut lagi.

Kegiatanku ternyata mengganggu Vito hingga netranya perlahan terbuka.

"Eh, aku ganggu kamu, ya?" tanyaku pelan. Aku menarik tanganku namun ditahan oleh Vito. Ia menempelkan punggung tanganku di pipinya.

"Enggak, kok. Sudah jam berapa?" Ia menutup kembali kedua matanya. Aku meniup matanya hingga kembali terbuka.

"Jam enam lewat. Ayo, buru bangun. Ntar kemalaman lagi pulangnya," ucapku. Aku mengecup puncak kepalanya sebelum aku berdiri dan mengulurkan sebelah tanganku untuk membantunya bangun.

"Aku cuci muka bentar."

Aku mengemas kembali barang-barangku ke dalam tas kerjaku. Tak lupa merapikan mejaku.

"Ayo!"

"Bentar!" tahanku. Aku mengambil tisu dari dalam tasku lalu mengelap wajahnya yang masih basah.

"Yuk!" Kami berdua keluar dari ruangan lalu menuju parkiran mobil.

"Mobilmu tinggalin aja, yang. Biar kuantarin saja ke apartemen, besok pagi kujemput aja," katanya setelah sampai di parkiran.

"Oke."

Vito mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal. Kulihat isi mobilnya masih berantakan.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang