Delicate Lima - Bunga yang Layu

44 9 0
                                    

Apa hebatnya masa lalumu?
Kutanya kamu demikian. Namun jawabmu, "Tidak ada."

Benarkah? Lalu kenapa dalam sekejab masa lalumu terciprat tinggi ke atas langit dan dengan angkuhnya menghujani kita berdua?

Kamu seketika terlihat seperti bunga layu yang terkena siraman air, mekar dan bertumbuh dengan suburnya.
Tapi tidak denganku yang juga ikut basah. Daunku layu, kayuku kering serta bungaku membusuk.

Inilah aku saat masa lalumu kembali. Entah bagaimana aku harus menjabarkannya. Di sini yang kulihat adalah komitmen yang kautawarkan mulai terkikis perlahan dan meninggalkan aku dengan penuh sendu.

Aku ingin menarikmu agar kembali ke pelukanku tetapi melihat tawamu yang terbebas tanpa pakuan di sekitarnya membuatku mengurungkan niatku.
Bahagiamu rupanya ada pada masa lalumu. Tapi kenapa di saat aku tengah bersamamu seolah kamu baik-baik saja? Kalau begitu, kamu berhasil menjadi orang yang pandai berpura-pura.

Aku hanya ingin bersamamu tanpa ada keterpura-puraan di dalamnya. Aku hanya ingin bersamamu tanpa rasa kemunafikan. Kamu pun cukup tahu, dipermainkan itu sungguh tak enak.

Aku pun juga sudah kesusahan untuk menjabarkan bagaimana hubungan kita saat ini. Namun yang pasti, apa yang terjadi kemarin adalah salah satu cara terbaikmu dalam menyakitiku. Jika memang ternyata kau masih dihantui oleh masa lalumu, kenapa kau memasang topeng kala di depanku? Mencoba meyakinkan aku bila kau memang pantas untukku? Jika benar, kau berhasil.

Aku kembali menarik selimut tebal yang membungkus tubuhku. Demam yang kurasa semalam akibat kehujanan sudah lebih mendingan. Cuma kepalaku yang tidak bisa berhenti berdenyut, apalagi memikirkan apa yang baru saja terjadi. Vito memang langsung menyusulku ke apartemen kemarin, tetapi aku menyuruh Ibu untuk tidak mengizinkannya masuk. Aku belum siap untuk sekadar menatap matanya. Ponselku pun juga belum kuaktifkan sama sekali sejak kejadian itu. Terserahlah.

Pintu kamar terbuka menampilkan Valen dengan segelas susu di tangannya disusul oleh Ibu yang membawa sebuah mangkuk.

"Kakak salapan dulu. Dedek sama Ibuk sudah. Tinggal Kakak aja," ucap Valen setelah meletakkan segelas susu yang dibawanya tadi di atas nakas.

"Ini sarapannya, Kak. Ibuk buatin bubur ayam. Sekalian buat Adik kamu juga. Kamu belum isi perut sejak pulang semalam." Aku melihat isi mangkuk yang dibawa Ibu dan memang bubur yang isinya kebanyakan berwarna hijau karena sayuran.

"Dedek mau nonton lagi, ya? Pilem-nya pasti semakin selu," sahut Valen.

"Iya. Tapi jangan terlalu dekat dengan TV-nya, oke?" pesan Ibu.

"Keisip!" Valen segera berlari keluar kamar meninggalkan aku dan Ibu.

Ibu membantu aku agar bisa duduk nyaman. Selebihnya aku sarapan sendiri, maksudnya menolak aksi Ibu untuk menyuapiku. Begitulah Ibu yang akan bersikap berlebihan apabila aku, Valen, atau Ayah yang sakit.

"Kamu belum coba ngobrol sama Vito, Kak?" tanya Ibu. Aku menelan kasar bubur yang ada di mulutku.

"Apalagi yang mau diobrolin, Buk?" tanyaku.

"Ya, hubungan kamu misalnya. Atau setidaknya kamu harus mendengar dulu penjelasan Vito. Kalau kamu nggak mau dengarin penjelasannya Vito, bagaimana dengan hubungan kamu?"

"Entah."

"Kak, coba turunin dikit egonya. Kamu sudah bukan anak remaja lagi. Umurmu sudah sepantasnya menuntut kamu untuk berpikir dewasa. Jangan ginilah."

"Nanti, Buk. Yang jelas aku belum siap." Aku melanjutkan sarapanku. Perihal kejadian kemarin, Ibu sudah tahu semuanya. Aku menjelaskan pada Ibu sebelum tertidur tadi malam.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang