Seduhan Pembuka - Waktu

253 25 4
                                    

Sambil baca, sambil koment hiaaa.

――――――――

Di saat kau tengah merayakan keberhasilanmu dalam mematahkan apa yang telah aku bangun, aku masih setia melihatmu dari sini. Harapmu tentu saja supaya aku tidak kembali lagi padamu. Aku pun juga masih ada di sini; masih berharap serta sibuk menghitung waktu. Andai aku bisa menggenggam detik, sudah kutuntun ia untuk membawaku pada masa di mana aku belum mengenal kamu. Sebab, sebelum adanya kamu, aku masih baik-baik saja. Atau jika tidak, aku akan menyuruh detik untuk mempercepat rotasinya agar aku bisa berdiri di saat luka pemberianmu sudah sepenuhnya terkubur oleh waktu. Sesederhana itu aku meminta.

Tiga tahun terlewatkan setelah kejadian kopi pahit itu. Mungkin bagi orang lain, melupakan apa yang telah terjadi pada waktu sebelum itu adalah mudah. Tapi tidak denganku. Tiga tahun adalah tenggang terlama untukku mengejar waktu. Menyibukkan diri dengan segala hal yang pada harapku bisa membuatku lupa akan perkara yang masa itu sangat menyiksaku. Nyatanya tetap sulit, bayangan di mana kau masih setia menggenggam tanganku, menyokong lemahku, menyandar lelahku, serta menerbitkan senyumku masih saja berkelana dalam pikiranku.

Semuanya terasa sulit. Apalagi di saat kau dan aku yang sekarang belum terpisahkan oleh jarak. Andai aku bisa menuntun langkahku untuk berjalan sejauh mungkin, sudah kupastikan sekarang aku berdiri beribu-ribu mil jauhnya darimu. Tapi inilah bodohnya aku. Di saat kau sudah memupuk luka di setiap seluk beluk hatiku, kakiku masih saja terpasung oleh rindu akanmu. Hati ini masih mengharapkan kemustahilan, menarikmu kembali dalam dekapanku salah satunya.

Seperti pagi ini. Kau kembali menenggelamkan aku pada kisah yang pernah berlalu dulu. Hujan yang turun pagi ini berhasil menguliti tulang-tulang yang entah kenapa masih saja kuat menopang tubuh yang rapuh ini.

Kau lewat di hadapanku. Penampilanmu masih sama seperti dulu di kala kita masih sama-sama berjuang dari kelas satu SMA hingga lulus dan yang terpenting masih seperti yang aku suka. Tubuhmu tak banyak mengalami perubahan, kecuali tinggi badan dan juga kumis tipis yang sekarang sudah berhias di bawah hidungmu yang malah menambah kadar ketampananmu.

"Pagi!" sapamu padaku. Astaga! Ingin sekali kukarungi senyuman itu.

Aku hanya tersenyum kaku saat tiba-tiba kau berhenti. Mungkin tiga langkah dari tempat aku duduk. Kukira kau mau duduk di sampingku hingga aku pun menggeser dudukku seolah-olah tanpa sadar aku mempersilakan kau duduk. Menit berjalan, kau masih setia berdiri di depanku. Hingga kuberanikan diri menatap matamu yang tajam namun bagiku sangat menenangkan.

"Pa ... pagi juga." Inilah aku kalau di hadapanmu saat-saat ini. Mendadak seperti mobil yang tersendat-sendat. Bahkan mulut ini hanya mampu berucap seperti itu.

Aku tersentak kaget saat sebuah jaket berhasil melayang dan menyentak wajahku membuat kedua mataku ikut tertutup. Dari aromanya aku tahu siapa Si empunya jaket ini. Warna cokelat yang dipadukan dengan warna hitam sangat kontras dengan kulit Si pemilik jaket ini. Ini adalah jaket yang tak pernah ia tinggalkan semasa abu-abu masih menjadi dunia kami. Aku buru-buru menghalau jaket ini dari wajahku untuk sekedar melihatmu dan berucap terima kasih.
Tanpa kau ucapkan, aku mengerti maksudmu. Kau ingin aku memakai jaket ini agar aku tak lagi kedinginan.

Baru saja aku ingin mengeluarkan kata-kataku yang lebih menyerupai sebuah bisikan, aku kembali diperlihatkan dengan hal yang sedari dulu tak ingin kulihat. Tenggorokanku bahkan sudah mengering hingga membuatku kesusahan dalam menelan liurku sendiri. Mata ini pun mulai memerah dengan sendirinya. Sekali kejab, kedua pelupuk akhirnya menumpahkan cairan bening diikuti oleh kepalaku yang juga merosot. Benar. Ia masih memedulikan aku tapi di saat ada tangan lain yang ia genggam.

"Ayo, Ndre!" Seorang perempuan datang tiba-tiba menggenggam tangannya dan ia sama sekali tak menolak saat perempuan itu menariknya menjauh dari hadapanku.

Tak ada yang lebih menyesakkan dari ini. Kenapa kepedulianmu justru membuatku semakin terluka dan melupakanmu adalah perihal yang sulit untuk ditaklukan? Kapan waktuku berhasil memenangkan apa yang aku inginkan? Menghapusmu dari ingatanku, contohnya.

"Masih mengharapkannya?" Aku terkesiap saat seseorang menyentuh pundakku. Aku segera membersihkan genangan air yang terasa merembes dari pelupuk mataku sebelum menoleh ke pemilik tangan itu. Dan orang itu adalah Vito; yang selalu menemaniku selama tiga tahun ini, yang selalu menyadarkan aku bahwa aku sudah terlalu bodoh untuk mengharapkan ia yang bahkan sama sekali tak mengharapkanku lagi.

"Vel, kamu itu sudah menyiksa diri sendiri, loh, kalau begini terus. Kamu itu pantasnya bahagia. Apa kamu tidak capek tenggelam dalam penantian yang bahkan tak berujung seperti ini?" Vito segera duduk di sampingku. Aku hanya tersenyum miris.

"Gimana lagi, Vit. Tiga tahun ini aku sudah berjuang untuk melupakannya. Tapi apa aku bisa jika bahkan setiap hari aku masih melihatnya berkeliaran di sekitarku? Rasa sakit itu pasti ada, Vit. Apalagi melihat Andre tengah sibuk dengan perempuan lain. Namun entah kenapa saat melihat itu, aku malah semakin semangat untuk berjuang mendapatkannya kembali walau masih abu-abu seperti ini. Aku masih sangat mencintainya, Vit." Air mataku kembali luruh. Entah kenapa saat aku memperbincangkannya, rasa sesak semakin mendesakku untuk menangis kencang. Vito hanya terdiam. Sejujurnya, aku sudah tahu kalau Vito menaruh rasa padaku. Aku tahu dari diarinya yang kujumpai tiga bulan lalu. Tetapi kenapa dia terlalu pengecut hanya untuk sekadar jujur padaku? Ah, otak bodohku kembali bermasalah. Rasanya pun percuma Vito akan jujur bila hatiku pun tak bisa beranjak padanya.

"Kamu tidak mau coba buka hati untuk orang lain, Vel?" Aku menatap matanya yang meneduhkan itu. Aku tahu persis dari tanyanya itu. Secara tidak langsung, orang lain yang ia maksud adalah termasuk dirinya.

"Saat ini belum, Vit. Hatiku masih terisi sama Andre. Aku tidak mau menyakiti orang lain. Maksudku, sekadar pura-pura itu sulit. Menyangkal kalau hatiku sudah terbebas dari Andre misalnya." Aku menutup mataku pelan saat mendengar helaan napas dari Vito. Aku tahu, aku menyakitinya lewat ucapanku itu.

"Ya, udah. Itu adalah pilihanmu, Vel. Aku hanya bisa mendukungmu. Belajarlah untuk mengikhlaskan biar kamu tidak terpaku pada masa lalu lagi. Layaknya latte yang sewaktu-waktu terganti sebagai minuman favorit. Aku ke lab dulu. Ada praktik bersama dokter Amasya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja." Vito segera berlalu setelah mengusap puncak kepalaku. Namun setelah bayangan Vito menghilang dari ujung mataku, aku bisa melihat wajah Andre di sana. Entah hanya perasaanku, tetapi wajahnya seperti marah dan lebih dingin. Aku segera beranjak ingin mendekatinya untuk mengembalikan jaketnya tetapi dengan cepat ia berlari menjauhiku. Sesak itu kembali hadir menyentil rongga dadaku. Kapan waktu itu tiba? Waktu di mana aku bisa berdamai dengan semuanya?

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang