Aroma Ketujuh - Aku Pernah Ditinggalkan

52 11 2
                                    

Saat ini aku dan Vito berada di Sky Bridge dengan cahaya remang-remang. Bagi pasangan kekasih, suasana seperti inilah yang membuat malam rasanya semakin romantis dan syahdu. Apalagi jika diiringi dengan alunan musik Jazz, suasananya akan semakin terasa. Vito dengan hangatnya menggenggam tanganku, memberi kehangatan karena memang udara Bandung begitu dingin saat ini. Ya, tadi subuh aku dan Vito berangkat ke Bandung. Itu karena aku yang meminta. Lagipula, besok juga jadwal visit kami masih kosong. Aku ingin ke Bandung dan Vito dengan senang hati mengabulkannya karena dia tidak membiarkan aku menyetir mobil sendirian. 

Cuaca juga begitu mendukung. Meskipun hanya sekadar cerah berawan tetapi setidaknya bahwa aku tidak ingin hujan menjadi perusak ketenanganku kali ini.

Berada di sini, aku teringat salah satu film kesukaanku. Aku yang sudah seperti Bella dan Vito yang seolah-olah menjadi Edward-ku. Benar, film Twilight.

Tangan kiri Vito dan tangan kananku masih setia memegang sisi tali dari jembatan yang di mana kaki kami berpijak. Sebelah tangannya yang lain dengan eratnya menggenggam sebelah tanganku.

"Kamu suka?" tanya Vito padaku. Tanpa menoleh padanya aku menganggukkan kepalaku. Aku masih setia menatap pemandangan dari atas jembatan ini. Terutama pada lampu tumbler yang berganti warna di pepohonan.

"Iya. Sudah lama aku tidak menikmati pemandangan seperti ini. Kamu tahu sendiri, selama kuliah kita disibukkan dengan banyak kegiatan. Begitu pun di dunia kerja malah makin pelik. Terakhir aku ke sini sebelum ujian nasional di SMA dulu bersama―"

Aku tidak melanjutkan ucapanku. Rasanya sudah keluh sendiri padahal aku hanya ingin menyebut namanya di ujung ucapanku.

"Sama?" Vito sepertinya mendesakku.

Aku melanjutkan langkahku setelah melepas tautan jari kami. Aku turun dengan sangat hati-hati. Vito mengikutiku dari belakang.

"Sama Andre, ya?" tanyanya lagi.

"Kau pasti udah tahu." Aku mendudukkan diri di sisi jalan yang kosong. Di depanku banyak orang yang lewat, kebanyakan anak muda.

"Kamu masih ... um ... mengharapkannya?" tanya Vito pelan bahkan terkesan ragu. Aku menatap kedua matanya lalu menggeleng pelan.

"Tidak. Namun kalau untuk melupakannya aku tidak akan bisa. Mungkin kepergiannya memang harus terpaku di dalam ingatanku."

"Tapi aku yakin kau pasti bisa, Vel. Cukup dengan membuka sedikit celah untukku. Biarkan aku berjuang untuk masuk sepenuhnya," ucapnya sungguh-sungguh.

Aku terdiam sesaat. Sebenarnya aku bingung. Tetapi surat yang kutulis kemarin adalah bukti bahwa aku sudah mengakhiri harapku.

"Vit, kamu tahu? Hari ini adalah hari ulang tahun Andre," ucapku malah mengalihkan pembicaraannya. Kudengar Vito menghela napas kasar.

"Aku memang nggak pernah terlihat di matamu, ya, Vel? Bertahun-tahun aku nunggu kamu, berharap kalau suatu saat kamu bakalan buka hati buat aku. Aku ingin menyembuhkan laramu, aku tidak ingin kamu terus-terusan tenggelam dalam kenangan yang begitu buruk. Aku ingin kamu menjalani hidup sebagaimana mestinya, tanpa pura-pura di dalamnya. Tapi susah buat kamu, ya?"

"Kamu terlalu pandai menyimpulkan segala sesuatunya, Vit. Andre memang meninggalkan banyak kenangan dan mungkin itu yang membuatku susah untuk melangkah maju. Tapi kamu salah kalau aku memilih kenangan-kenangan itu mendekapku. Aku hanya butuh waktu. Itu saja," kataku.

"Apakah waktu itu masih lama?"

Aku gusar. Kenapa hanya untuk sekadar memilih kata-kata yang tepat rasanya begitu sulit. "Vit ... Misalkan aku ngasih kamu waktu itu, apa kamu bisa menjadi seseorangku yang bakalan selalu ada, seseorang yang hanya menganggap aku sebagai satu-satunya wanita yang ada dalam hidupmu selain Ibumu?"

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang