Tegukan Kedelapan - Are U Okay?

47 7 0
                                    

Aku terbangun saat aku merasakan nyeri di sekitar pipiku. Cahaya yang menusuk juga semakin mendorongku untuk membuka mata dengan segera. Setelah mataku terbuka dengan sempurna, dapat kulihat Valen duduk di sampingku dengan wajah yang sangat cemberut. Aku jadi tahu kenapa pipiku terasa nyeri. Valen pasti menggigitnya. Kebiasaannya ketika dia membangunkanku.

"Kenapa cemberut, Dek?" tanyaku. Dia semakin mengembungkan pipinya setelah tangannya dia lipat di depan dada. Aku menyibak selimut yang kugunakan lalu menyandarkan punggungku pada tumpukan bantal.

"Kakak dari tadi dikasih bangun sama Dedek nggak mau bangun-bangun." Aku segera meraihnya dan memelukknya erat. Semalam Valen tertidur cepat. Mungkin karena masih kelelahan.

"Kan, Kakak masih ngantuk. Kakak, loh, gendong Valen dari bawah sampai di sini kemarin."

Valen memainkan poniku. "Tapi Dedek tidak belat. Ibuk aja kuat, masa Kakak tidak."

Aku menekan kedua sisi pipinya hingga bibirnya membentuk bibir ikan. "Tidak berat gimana? Orang Dedek seratus kilo."

"Enggak. Dedek nggak boong. Kakak yang boong," tandanya menggelengkan kepalanya kuat.

"Iya, deh, iya. Ibuk mana, Dek?"

"Lagi masak. Oh, iya. Ayo, salapan kata Ibuk."

Aku segera mengangkat badan Valen dari pangkuanku. "Oke. Kamu ke Ibuk duluan. Kakak harus cuci muka dulu."

"Keisip," balasnya singkat lalu berlari keluar dari kamarku. Aku hanya tertawa melihatnya yang hanya memakai baju dalam tipis dan celana pendek. Dari kemarin sore saat dia bangun, dia mengeluh karena kepanasan. Lebih panas dari rumah di Makassar. Memang benar, sih. Rumah di Makassar dikelilingi sama tanaman Ayah. Masih asri juga.

***

"Sarapan, Kak," ucap Ibu kala melihatku sudah sampai di meja makan. Sudah ada beberapa menu makanan di atas meja. Semuanya juga makanan kesukaan aku. Ada sup jamur krim, soto Makassar, parkedel, nasi goreng keju, dan urap sayur. Mataku beralih menatap Valen yang sedang menikmati pancake dan susu stroberinya. Sedikit informasi, Valen tidak bisa sarapan menggunakan makanan pokok. Katanya perutnya bakalan terasa terlilit.

"Kenapa dilihatin aja? Duduk, gih, samping Adek."

Aku menurut dan membiarkan Ibu menuangkan secantong nasi goreng ke piringku beserta parkedel juga sedikit urap sayur.

"Kamu harus banyak makan biar badanmu juga naik. Apa ini berat badan anak SMP."

Aku tidak bisa menyelah. Aturan Ibu adalah kita tidak bisa berbicara saat sedang makan. Itu sudah diterapkan semenjak aku masih kecil.
Ibu juga segera duduk setelah menaruh segelas susu di depanku. Ia mengambil menu sarapannya sendiri yaitu soto.

Kami makan seperti biasanya. Tak ada perbincangan. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring. Makanan Ibu sangat enak bahkan lebih enak dari makanan yang dijual di luar sana. Aku berkata jujur.

Setelah sarapan selesai, giliran aku mengganti Ibu untuk mencuci peralatan makan di wastafel. Ibu lagi memandikan Valen di kamar mandi.

Aku sedikit merasa asing. Sejak semalam, Vito belum menghubungiku. Nomornya juga tidak aktif lagi. Aku hanya mengkhawatirkan keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.

"Kak!" Aku hampir menjatuhkan gelas yang sedang kubilas setelah mendengar teriakan Ibu dari dalam kamar mandi.

"Kenapa, Buk?" balasku tak kalah kencang.

"Handuk Kakak di mana?"

"Di belakang pintu kamar. Pake yang warna biru, Buk."

Aku kembali melanjutkan kegiatanku setelah tak ada sahutan lagi. Untungnya aku masuk malam nanti. Setidaknya aku memiliki waktu banyak untuk Ibu dan Adikku. Setelah mencuci piring, aku segera melangkah menuju kamar.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang