Delicate Empat - Lipatan Luka Kembali Terbuka

45 9 0
                                    

Pagi ini aku, Ibu dan Adikku sedang sarapan di meja makan. Kali ini hanya ada beberapa lembaran roti panggang dan juga beberapa potong buah untuk Valen dikarenakan aku yang belum belanja apa-apa.

"Dedek nggak mau makan roti?" tawarku pada Valen. Dia hanya mengangguk sambil mulutnya sibuk mengunyah.

"Nanti Ibuk belanja sama Valen buat masak," sahut Ibu yang baru saja menyeduh susu untuk Valen.

"Enggak papa, Buk? Kakak pulangnya bakal kemalaman soalnya mau ke apartemen Vito dulu," kataku. Aku meneguk latte-ku hingga tersisa setengah.

"Mau apa ke sana?" Ibu mengoles selai untuk rotinya sendiri.

"Mau beresin barang-barangnya yang dia bawa pulang kemarin. Kasihan juga, pasti dia kecapean." Kulihat Ibu hanya mengangguk-angguk.

Aku kembali memerhatikan jam tanganku. Sudah mau pukul tujuh tapi belum ada kabar dari Vito. Katanya dia mau jemput.

"Kok, Vito belum ada kabar, ya, Buk. Semalam dia whatsaap mau jemput," kataku pada Ibu.

"Mungkin emang ketiduran. Capek dia itu, Kak." Mungkin memang benar. Apalagi dia langsung menemuiku, menungguku bahkan mengantarku pulang. Bukannya beristirahat.

"Kamu naik taksi aja. Ntar telat, loh," usul Ibu lagi.

"Sepertinya memang begitu, Buk." Aku meneguk latte-ku lagi hingga benar-benar habis sepenuhnya.

"Ya, sudah. Cuma pulangnya jangan kemalaman. Nggak baik kalau perempuan berduaan sama pasangannya yang belum terikat. Di rumah cowok lagi," pesan Ibuku. Aku mengacungkan sebelah jempolku. Aku lekas berdiri lalu memasang jas dokterku serta merapikan rokku yang kelihatannya sedikit kusut.

"Kakak berangkat kerja dulu, ya, Dek. Mau dibawain apa nanti?" tanyaku mengacak-acak rambut Valen.

"Mau cokelat aja. Telus maltabak juga." Aku mengecup puncak kepalanya sebelum melangkah ke arah Ibu.

"Buk, Kakak berangkat kerja dulu."

"Iya. Hati-hati. Jangan lupa makan siang juga." Aku mengecup punggung tangan Ibu sebelum benar-benar keluar dari apartemen. Aku jadi kepikiran sama Vito. Apa jangan-jangan dia sakit? Tapi kenapa semalam malah mengirimkanku pesan, bukannya istirahat saja untuk hari ini.

Baru saja aku keluar dari lingkungan apartemen, mobil yang sudah sangat kukenali warna dan bentuknya baru saja terparkir rapi di depan jalan masuk basement apartemen. Tak berselang lama, pengemudi yang tak lainnya adalah Vito keluar dari dalam mobilnya lalu berjalan ke arahku.

"Pagi, sayang. Maaf, ya, aku telat jemput. Aku ada urusan sebentar tadi," katanya dengan raut wajah bersalah.

"Pagi. Nggak papa, kok. Aku ngerti," balasku maklum. Toh, seperti kata Ibu, bukan cuma aku yang akan diprioritaskan olehnya.

"Ya, sudah. Ayo!" Aku mengikuti langkah Vito. Keningku mengkerut tatkala Vito membuka pintu penumpang mobilnya untukku. Ini berbeda dari biasanya. Selalunya ia membuka pintu bagian depan untukku. Lah, ini, kok?

Tanpa berpikir panjang, aku segera masuk. Belum juga aku duduk dengan sempurna, tampilan punggung seseorang langsung menyambutku. Aku hanya memandang Vito penuh tanya saat ia masuk.

"Sayang, ini Avi, perempuan kemarin yang sempat aku ceritakan," kata Vito pada akhirnya. Aku tidak bisa mendeskripsikan apa yang sedang kurasakan.

"Hai!" Aku tersenyum kaku saat perempuan yang bernama Avi itu menyapaku. Aku hanya kaku, lebih tepatnya tidak tahu mau bilang apa lagi.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Pandanganku hanya kularikan ke luar jendela. Ada perasaan aneh yang sedang kurasakan. Yang jelas ini sedikit tidak membuat nyaman. Kalau saja kutahu kalau Vito sedang bersama dengan perempuan ini, sudah kupastikan lebih baik naik taksi saja. Lalu kenapa pula Vito membiarkan perempuan yang bagiku masih sangat asing itu duduk di depan? Seakan-akan aku hanya orang yang lain saja.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang