Aroma Keempat - Kau dan Hujan

93 14 0
                                    

Langit belum saja berdamai. Bulir-bulir air masih saja senantiasa menetes di atas permukaan kulit-kulit bentala. Angin bertiup mengantar hujan tidak setia pada tetesen-tetesan sebelumnya. Terjebak dalam hujan, kerap kali mengundang kisah yang sudah lama terkubur dalam liang-liang ingatan mencuat kembali. Itulah hebatnya hujan. Bisa mengundang sendu, tawa, amarah dalam waktu yang bersamaan. Tetapi tetap saja banyak orang yang menyukai pun membenci hujan.

Tangan kananku yang berwarna putih pucat terulur ke luar. Sedang aku hanya berdiri di bawah naungan atap balkon yang hanya menaungi separuh lantainya. Dingin yang menusuk tak membuat langkahku berbalik untuk masuk ke dalam apartemenku. Sudah beberapa menit aku hanya berdiri di sini, memandang ke luar balkon yang memperlihatkan suasana malam ibu kota yang dikelilingi oleh cahaya remang-remang dengan hujan yang masih saja mengguyur. Aku menutup mataku, merasakan tetesan hujan yang mendarat di atas lantai balkon―kedengarannya sudah seperti sebuah lagu yang bertempo sedang. Tanganku masih terulur ke luar, membiarkan tetesan hujan memijat ringan telapak tanganku.

Angin yang tiba-tiba berembus kencang membuatku membuka mata. Aku menarik tanganku bersamaan dengan jaket tebal yang kembali aku rekatkan pada tubuhku yang mungil. Aku berbalik lalu menutup pintu pembatas balkon dan apartemenku. Dingin yang baru terasa seketika langsung terganti dengan kehangatan yang ada di dalam ruangan yang didominasi oleh warna putih tulang.

Mataku melirik jam yang terpasang di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Namun rasanya enggan untuk membuat makan malam. Tanganku mengambil sebuah remot yang ada di atas meja lalu menyalahkan benda persegi empat yang ada di depanku. Layar itu berganti dari warna gelap menjadi layar bercahaya yang menampilkan program berita.

Mataku memang menatap layar televisi itu tetapi pikiranku kembali berkelana pada kejadian yang berhasil diundang oleh tetesan hujan --- kembali berputar di dalam ingatanku. Masa yang selalu kukenang ketika hujan turun --- menjadi salah satunya kenangan yang susah untuk kulupakan.

"Vel ... kamu lebih suka mana? Hujan seperti sekarang ini atau kemarau yang akan datang beberapa bulan lagi?" Aku menatap Andre yang rupanya sudah menghabiskan semangkuk baksonya tetapi masih menyisakan kuah yang berwarna merah pekat. Mataku kemudian teralih pada bibirnya yang sudah ikut memerah lalu naik lagi menatap matanya yang tajam namun bagiku sangat menenangkan.

"Ngapain bahas hujan, Ndre! Baru aja reda, hih!" Aku kembali menyendok potongan bakso yang sudah dipotong kecil-kecil oleh Andre tadi. Katanya biar lebih mudah untuk kukunyah.

"Emang salah? Kan, aku nanya aja. Pengen tahu banyak soal kamu."

Aku menghentikan kunyahanku. Kurobek selembar tisu dari kotaknya lalu mengelap bibirku dengan robekan tisu itu. "Kepo!" ucapku lalu meneguk teh manis hangatku.

"Velatte! Kepo itu baik. Kepintaran juga berdasarkan kekepoan. Kapan kamu nggak kepo, siap-siap untuk bodoh."

Aku tertawa sendiri saat mendengar ucapan Andre. "Kamu nyolong kata-kata itu darimana?"

"Dari sini." Andre menujuk dahinya. "Sudahlah. Sisa jawab aja, apa susahnya, sih?" kata Andre mendesak.

"Iya. Aku lebih suka hujan."

"Kenapa?" tanya Andre lagi.

"Entah. Suka aja kalau hujan. Bikin tenang, adem. Tidurku juga bakalan nyenyak kalau hujan. Kecuali hujan petir atau hujan angin, aku sedikit takut. Tapi tetap aja, hujan banyakan bikin aku tenang," jelasku padanya. Andre mengernyit sekilas. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tangannya ia lipat di depan dada.

"Kenapa nggak suka kemarau?" tanyanya lagi.

"Simpel. Panas."

Andre terkekeh setelah mendengar ucapanku. Pahatan di kedua pipinya kembali terlihat, membuat wajahnya terlihat begitu manis.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang