Aroma Kelima - Bingung

71 10 0
                                    

Aku dengan pelan membuka mataku. Gawaiku yang berdering seperti menusuk kedua telingaku. Kupulihkan penglihatanku terlebih dahulu. Aku baru sadar kalau aku tertidur di atas sofa semalam. Televisi juga masih menyalah. Rupanya benar-benar ketiduran.

Kepalaku terasa berat serta badanku rasanya menggigil dan sepertinya aku juga pilek. Kurekatkan kardigan yang kugunakan. Sandaran sofa berhasil menahan punggungku yang juga rasanya sudah mau remuk. Gawaiku kembali berdering. Dengan jelas nama Vito terterah di sana.

"Akhirnya diangkat. Kamu udah di mana, sih? Visit-mu pukul sebelas, Vel. Ini sudah setengah sebelas dan kamu belum nyampai."

Kepalaku tambah berdenyut mendengar ocehan Vito di seberang sana.

"Halo, Vit. Kayaknya aku nggak bisa masuk hari ini," kataku lemah. Suaraku berubah, tenggorokanku juga terasa sangat kering.

"Loh ... kamu kenapa? Suara kamu bindeng gitu?"

Sebelah tanganku sudah mulai memijat-mijat ringan kepalaku. "Aku demam. Mungkin karena kehujanan kemarin."

"Astaga! Ya, sudah. Nanti aku yang gantiin. Kamu istirahat aja. Jam makan siang aku ke situ bawain kamu obat."

"Iya. Makasih banyak, Vit."

"Sama-sama. Aku tutup, ya."

"Oke."

Setelah telepon mati, aku beranjak ke kamar. Sebelumnya aku mematikan TV yang masih saja menyalah. Aku merasa sudah tak bertenaga sama sekali. Tanganku menjadikan dinding sebagai tumpuanku saat mulai berjalan masuk ke dalam kamar.

Di kotak obat aku masih memiliki persediaan obat-obatan. Air di atas nakas kuminum dulu. Perutku masih kosong. Sejak semalam belum terisi makanan apapun.

Aku kembali menuju dapur miniku. Membuka kulkas dan isinya hanya ada roti dan telur. Kuputuskan untuk membuat scramble egg saja. Setelah selesai, aku kembali ke meja makan dengan sepiring sarapan yang siap kunikmati.

Biarpun kelihatannya sangat menggiurkan tapi saat sarapan ini mendarat di lidahku, semuanya terasa hambar. Dengat sedikit paksaan, dua lembar roti berhasil kuhabiskan. Kuteguk kembali air minumku bersamaan dengan tiga pil obat yang kuambil dari kotak obat tadi.

Kepalaku langsung bertumpuh di atas meja. Lelah dan lemas. Itu yang benar-benar kurasakan. Entah pengaruh kegiatan kemarin yang berhasil menguras tenagaku atau karena kehujanan.

Inilah aku! Seorang dokter tetapi tidak bisa menjaga diri sendiri. Bukan hanya itu, kenangan dari sosok yang semalam kembali terputar dalam ingatanku, yang malah membuat gelar dokterku seakan tak berguna. Sebab, saat sosok itu kembali dalam ingatan sebagai bayang malah membuat luka kembali mencuat ke atas uluh hatiku. Sakit tapi itulah kenyataannya. Gelar dokterku tak berguna atas kasus ini. Ada luka yang masih belum bisa kusembuhkan setelah bertahun-tahun lamanya mendiami rumahku; yakni hatiku sendiri. 

Setelah merasa sedikit mendingan, aku kembali ke kamar. Berendam dengan air hangat dengan aroma terapi akan sangat membantu menyegarkan tubuhku yang rasanya sudah tak bertulang ini.

***

Benar saja, setelah mandi tubuhku lebih segar dari sebelumnya. Meski hidung tersumbat namun setidaknya ini lebih baik. Setelah mengenakan jaket berbulu, aku segera keluar dari kamar. Bel di depan berbunyi. Mungkin Vito sudah datang.

"Kok, udah ke sini aja?" tanyaku langsung. Vito hanya tersenyum sembari mengangkat sebuah paperbag yang ia tenteng.

"Ya, udah. Masuk, gih."

Aku menutup pintu lalu menyusul Vito yang sudah lebih dulu duduk di atas sofa tempatku tidur semalam.

"Kamu duduk aja, Vel. Biar kuambilin piring sama sendok. Ini bubur ayam Pak Tatin yang aku beli tadi pas ke sini." Aku hanya diam sembari melihat punggung Vito yang sudah menjauh. Vito sangat perhatian dan baik padaku. Tapi entah kenapa aku masih saja tidak bisa membuka hatiku padanya. Ataukah aku yang terlalu larut atas kisah masa laluku?

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang