"Kamu mau jalan-jalan dulu atau langsung ke apartemen?"
Aku melepas pelukanku lalu memandang sekitar. "Jalan-jalan sebentar, boleh?" tanyaku.
Vito berdiri. Ia mengulurkan tangannya yang langsung kugapai. Kami masih berada di taman, padahal ini sudah pukul tujuh. Tak terasa juga, aku menghabiskan beberapa jam di luar apartemen.
"Tapi ke mobil dulu, ya?"
"Buat?"
"Berapa kali, sih, aku bilang. Kalau kamu keluar itu bawa jaket. Udah tahu badan tipis gini," protesnya. Aku hanya terkekeh lalu melingkarkan sebelah tanganku di pinggangnya. Ia juga merangkulku lalu menuntun aku ke tempat di mana mobilnya berada.
"Oh, iya. Avi ke mana?" tanyaku saat tidak mendapati Avi di dalam mobil.
"Udah pulang. Maksudnya aku nyuruh dia pulang naik taksi." Vito memasangkan jaket pada tubuhku. Kali ini jaket kain berwarna navi dilengkapi dengan topinya.
"Selalunya kebesaran," kekehnya lalu ikut memasangkan topinya.
"Kamu pakai apa?"
"Ya, aku, kan, laki-laki. Udah biasa ini mah. Mau ke mana kita?"
Aku berpikir sebentar. Tempat mana yang kira-kira bagus untuk dikunjungi malam-malam begini.
"Mmm ... pasar malam aja gimana? Aku sudah lama nggak ke sana," usulku namun Vito malah mengernyit.
"Boleh. Asalkan naik mobil. Lumayan jauh itu."
Aku sontak menggeleng. "Nggak mau. Jalan kaki aja. Lagian masih jam tujuh juga. Belum terlalu malam." Aku tersenyum puas kala Vito akhirnya mengangguk. Ia mengambil tangan kiriku dan menggenggamnya.
Kaki kami mulai menyusuri jalanan trotoar. Letak pasar malam di sini kira-kira lima belas menit kalau berjalan kaki. Aku sudah lupa, kapan terakhir aku ke sana. Di sepanjang jalan, banyak juga orang-orang yang berjalan kaki seperti kami. Langit malam juga cerah meski angin sedikit berembus kencang. Anak-anak kecil, yang sepertinya anak jalanan masih banyak berkeliaran. Ada yang sekadar bermain kejar-kejaran, ada pula yang masih sibuk mengais rejeki dengan cara mengumpulkan barang bekas.
Mataku tidak sengaja menangkap sosok wanita tua yang sedang duduk di jalanan dengan sebuah kaleng bekas di tangannya. Bukan itu yang menjadi pusat perhatianku. Tapi anak balita yang berbaring di sampingnya tengah terlelap dengan beralaskan kartun.
Aku menahan tangan Vito membuatnya berhenti. Aku ingat, di sakuku masih ada uang. Hatiku tergerak memasukkan uang yang tak seberapa itu ke dalam kaleng bekas yang sudah karatan itu.
"Buat Ibu beli makan malam, ya. Kasihan anaknya," ucapku ramah. Wanita itu meraih tanganku.
"Makasih, Mbak. Semoga Allah membalas kebaikan, Mbak. Ini bukan anak saya, tapi cucu saya. Sekali lagi, terima kasih, Mbak!"
Aku tersenyum. "Sama-sama. Ibu pulang saja. Kasihan cucunya. Nanti masuk angin lalu sakit kalau lama-lama di luar."
"Iya, Mbak." Wanita itu meraih cucunya ke dalam gendongannya setelah memasukkan kaleng bekas tadi ke dalam sebuah plastik yang ia bawa lalu beranjak meninggalkan kami setelah memberikan senyumannya.
"Udah cantik, baik hati pula," celetuk Vito saat kami melanjutkan perjalanan. Kira-kira masih lima menit baru sampai.
"Kita, kan, emang harus saling berbagi. Aku jadi malu sendiri sama mereka. Sudah punya kerjaan bagus, penghasilan cukup tapi kadang masih suka ngeluh. Sedangkan mereka ... sekecil apa pun hasilnya, ucapan syukur selalu menjadi penutup hari-harinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuat Untuk Sebuah Patah
Любовные романыMungkin, aku memang sudah terlahir menjadi gadis yang kuat. Sebab, harapku dipatahkan berkali-kali pun aku tetap mencintainya. Olehnya, aku rindu menuliskan tulisan kecil ini dariku untuk kamu yang mungkin saja sudah lelah memperjuangkan cintamu. Ke...