Tegukan Ketiga - Petaka Kulit Ayam

52 10 2
                                    

Apa ini salahku yang tidak bisa diajak bercanda?
Tindakanmu yang pikirku memang benar adanya, ternyata bagimu hanyalah sebuah mainan untuk memperdayaku.

Tapi memang benar adanya.
Candamu seolah-olah nyata.
Bahkan begitu meyakinkan untuk dipercaya.
Sehingga aku pun terserang panik dibuat olehmu.

Hingga akhirnya tawa yang begitu menggelegar di akhir tindakanmu membuktikan semuanya.
Tawa yang begitu lepas, bahkan setitik air matamu sempat terjatuh sangking hanyutmu dalam tawaan.

Tak kau sadar?
Aku di sini hanya memandangmu sendu.
Mengedipkan dengan sangat pelan netraku agar embun ini tak jatuh dari peraduannya.
Aku baru sadar, candamu bukan buatku senang tapi hanya melukaiku.

***

Aku hanya memandang keluar dari jendela di mana ruanganku berada. Sejak kejadian kemarin di mana Vito berpura-pura sakit, aku jadi mogok bicara padanya. Bahkan makan siang kemarin pun lewat begitu saja. Hingga malam, aku tidak membalas salah satu pesan pun dari Vito. Sudahlah, dikira bercandanya lucu atau bagaimana. Aku sama sekali tidak menyukainya. Seharusnya dia sadar, kita ini adalah dokter. Bercanda kesakitan adalah hal terbodoh yang pernah ada. Menurutku pun, ini berlaku bagi siapa saja. Bukan hanya untuk Vito.

Setelah melakukan visit-ku dan bertemu dengan dokter Imanuel untuk menyampaikan beberapa laporan pukul sepuluh tadi, aku hanya berdiam diri di ruanganku. Sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Tak banyak yang kulakukan. Hanya berdiri di depan jendela sambil melihat jalanan kota yang sedang padat-padatnya.

Di tengah lamunanku, aku tersentak saat merasakan sepasangan tangan yang merengkuhku dari belakang. Kepalaku pun rasanya berat akibat harus menopang kepala lain. Tanpa berbalik, aku sudah tahu siapa pelakunya. Dari bau parfumnya serta tingginya yang berada di atasku sudah bisa kutebak. Lagian siapa lagi yang berani memelukku selain pemilik tangan itu?

"Masih marah, hm?" Aku meremang saat orang itu sudah berucap untuk pertama kalinya lagi. Kepalaku bisa merasakan embusan napasnya. Aku hanya diam tak menimpali. Sebenarnya aku tidak nyaman berada di posisi ini tetapi mau bagaimana lagi? Egoku meruntuhkan niatku untuk berbicara.

"Bicaralah, sayang. Jangan buat aku semakin bingung." Aku melepaskan rengkuhan tangan Vito dari pinggangku. Lalu kembali duduk di kursi kerjaku. Kudengar Vito menghela napasnya gusar. Biarkan saja.

Vito mendekati mejaku. Ia duduk tepat di hadapanku. "Aku tahu kalau aku salah, sayang. Tapi jujur aku gak ada maksud sama sekali."

"Tidak bermaksud katamu tapi kau sudah bikin aku panik." Tanpa melihat ke arahnya aku berucap demikian. Aku kembali fokus pada laptop di hadapanku―pura-pura membuka folder atau mengetik apa pun yang aku bisa.

"Aku cuma mau tahu sedalam apa kau sayang sama aku. Aku nggak ada maksud lain, sayang." Aku langsung mengangkat wajahku melihat Vito setelah mulutnya berucap demikian. Hatiku sedikit tersentil setelah mendengar ucapannya.

"Jadi kau anggap apa aku, Vit? Kau pikir rasa yang kumiliki padamu cuma candaan? Jadi kau belum percaya sama aku?" Dari raut wajahnya, Vito sepertinya kelabakan. Ia langsung beranjak dari duduknya dan berjongkok di sampingku.

"Enggak, sayang. Bukan gitu. Aku per―"

"Tapi kau bicara itu seolah-olah kau memang belum percaya sama aku. Ini menyakitkan, Vit."

Aku tidak bisa menahan apa yang ingin kukatakan. "Apa karena kau tahu aku terlalu rapuh makanya kau berbuat sesukamu, ya?" Aku langsung berdiri hendak meninggalkannya. Aku sedikit kecewa dengan apa yang kudengar dari mulutnya―tentang alasan ia melakukan hal konyol kemarin. Harusnya dia sadar, kita bukanlah anak remaja lagi yang sedang beradu asmara. Kita lebih dari itu.

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang