"Assalamualaikum!" ucap Zila setelah membuka pintu rumahnya, diikuti Afreen yang berjalan dibelakangnya.
Zila bisa melihat keempat sahabatnya duduk dengan pandangan yang mengabsen seluruh seluk beluk ruang tamu rumah Zila.
"Udah pada dateng?" tanya Zila sambil meletakkan kantong belanjaannya diatas meja.
"Belum masih dijalan! Kejebak macet kita!" jawab Zizi santai menatap datar Zila.
"Udah liat kita jelas-jelas duduk disini, masih aja nanya! Kesangkut dimana tuh otaknya neng!" seru Fania ketus.
"Wah... Wah... Ngajak gelut nih!" ujar Zila songong.
"Yah elo sih, ngasih pertanyaan gak berbobot banget!" kali ini Hana badak yang angkat suara.
"Basa basi ah elah!" keempat sahabatnya kompak mendengus memutar bola mata malas.
"Assalamualaikum teman-teman!" seru Afreen mengikuti salah satu youtuber Indonesia.
"Waalaikumussalam!" jawab mereka kompak tapi dengan nada malas.
"Ya Allah... Jahatnya teman-teman hamba!" ucap Afreen sambil mengelus dadanya. Zila hanya tersenyum melihat itu, ia tahu kalau keempat sahabatnya itu masih agak-agak dengan si tengil Afreen.
"Emang kita temen lo?!" sarkas Zizi.
"Zi!" tegur Zila.
"Apaan sih Zil, lo ngapain ngajak dia, kan dia yang udah bikin masalah lo makin runyam dulu!" jawab Zizi ketus, ia menatap Afreen dengan tatapan tak suka.
"Iya gue tahu. Gue juga tahu kalau lo cuma ngekhawatirin gue kan?" Zizi mengangguk meng-iyakan pertanyaan Zila.
"Kalau gitu, biar gue jelasin sejelas-jelasnya! Duduk dulu Rin!" titah Zila.
Mereka semua duduk di sofa yang ada di rumah Zila. "Jadi gini, sebenarnya Afreen itu sahabat masa kecil gue."
"HAH?!" teriak mereka berempat kompak.
"Iya, dia sahabat kecil gue, dulu gue selalu main kemana-mana bareng dia, dia juga tinggal di kompleks ini kok, beberapa rumah dari sini."
"Terus, kenapa kalian kalau di sekolah kayak temen yang baru kenal?" tanya Liza.
"Gini, sebenarnya gue sama Fafa, eh Zila maksudnya, kita berdua itu udah dari TK selalu sekelas, karena gue udah nganggep di sebagai adek gue yang harus gue jaga! Lo gak tahu? Kalau kita bahkan lahir cum selisih beberapa jam?" tanya Afreen, mereka kompak menggeleng.
"Gue lahir 16 Januari, si Zila lahir 17 Januari. Udah dari bayi kita selalu bareng-bareng, apalagi emak gue sama emaknya Zila itu sahabatan!"
Zila mengangguk lalu melanjutkan cerita. "Kalian belum tahu kan, kalau gue punya kakak perempuan?" mereka semua menggeleng lagi. "Kakak gue itu meninggal gara-gara kecelakaan, waktu itu umur gue sepuluh tahun. Singkat cerita, gue sama dia terjebak dalam kecelakaan itu, gue mau nyelamatin dia, tapi dia ngedorong gue, alhasil dia yang ketabrak dan gak tertolong. Sejak kejadian itulah, bonyok gue membenci gue, nganggep gue penyebab kematian kakak gue... " Zila menjeda ucapannya untuk mengambil napas dan menghembuskannya panjang.
Sesak didadanya kembali saat menceritakan kejadian itu, walaupun ingatannya belum kembali, tapi ia percaya apa yang diceritakan Afreen waktu itu adalah kebenaran.
"Zila sempat depresi waktu itu!" ucapan Afreen sukses membuat keempat sahabat Zila membelalakkan mata. "Karena keadaannya semakin memburuk, kedua abangnya membawa dia pergi liburan. Setelah pulang liburan, Zila berubah seratus delapan puluh derajat, dia jadi pendiem, cuek, muka tembok, ngomong seadanya, pokoknya beda bangetlah, kecuali kepada orang kepercayaan dia, di akan jadi seperti sosok Zila seperti Zila kecil yang gue kenal. Tapi setelah pulang liburan itu, gue sama Zila terpisah, dia gak inget gue, makanya dia cuek sama gue. Gue cemburu kalau liat kalian berempat buat dia ketawa, karena dulu gue yang ada diposisi itu. Gue kehilangan sahabat gue. Kalian beruntung bisa kenal dan dekat dengan dia, dia itu sosok luar biasa. Hebat, mandiri, cerdas, jenius, sayang otaknya gesrek, hehe" curhat Afreen. Zila hanya duduk menunduk menatap sepatu yang ia gunakan.
Keempat sahabatnya kompak menatap Zila yang menunduk dengan tatapan sendu.
"Betapa beratnya hari-hari yang lo jalani, tapi lo tetap bisa membuat kita semua ketawa. Lo berhasil membuat kita semua ketawa dengan kegilaan lo, tapi kita semua gak tahu, kalau ternyata lo memikul beban yang berat banget. Dengan semua beban yang ada dipundak lo, lo berhasil menjadi seorang pengusaha muda, walaupun itu tak membuat lo berhasil keluar dari masalah besar yang mengepung lo selama ini. Kita gak akan pernah sekuat lo jika seandainya kita yang ada diposisi lo. Lo perempuan kuat Zil. Lo hebat. Suatu saat nanti lo bakal mendapat kebahagiaan yang lebih besar daripada beban lo saat ini. Kita percaya itu!" batin semua sahabat Zila saat mereka kompak memeluk Zila.
Zila hanya bisa meneteskan air mata, melihat para sahabatnya begitu menyayanginya, mengkhawatirkannya, sekarang ia merasa sedikit lega. Sedikit lagi, sedikit lagi semua masalahnya akan selesai.
"Thank's udah mau sayang sama gue, gue merasa beruntung masih ada orang yang peduli sama gue. Gue bakal merindukan kalian, kalau gue udah pergi jauh." ucap Zila tanpa sadar membuat keempat sahabatnya termasuk Afreen melepaskan pelukan mereka dari tubuh Zila.
"Lo mau kemana Zil?"
"Hah? Emang gue mau kemana? Gak kok!"
Afreen memicingkan matanya menatap Zila. "Tadi lo bilang mau pergi jauh, lo mau kemana?" tanyanya.
"Emm... Nggak kok, nggak!" elak Zila.
"Lo mau kemana Zila?!" geram Zizi.
"Nanti..."
"Nanti apa?!" tanya Fania.
"Ayok bbq-an ah! Laper nih!" serunya mengalihkan pembicaraan.
"Lo jangan mengalihkan pembicaraan Fazila Laila Hazimah Alexandra!!" geram Hana.
"Sorry... Gue gak bisa jelasin itu. Kalau udah saatnya nanti kalian bakal tahu sendiri!" lirih Zila membelakangi teman-temannya. "Ayok ah! Kita senang-senang malam ini!" semuanya hanya bisa menghembuskan napas lalu mengikuti Zila menuju halaman depan rumahnya. Mereka akan bbq-an di halaman depan saja.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
FAZILA [End]
Teen Fiction📣Nanti libur semester kita revisi, hehe... Kalau gak mager, haha🤣 Bagaimana jika hidup tanpa kasih sayang orang tua? Tidak menyenangkan bukan? Itulah yang dialami Fazila. Ia hidup bersama kedua orang tuanya, tapi tak pernah mendapatkan kasih sayan...