Papi
Papi kangen, mau ketemu.
Papi di Jakarta nih Le.Ole berulang kali membaca pesan yang dikirimkan papinya, terakhir bertemu dengan papi adalah empat tahun lalu, ketika kepulangannya ke Indonesia. Dan itu cukup memuakkan. Untung waktu itu Sabila dan Friska menemaninya sehingga Ole bisa sabar sampai akhir pertemuan berkat Sabila dan Friska yang membalas setiap perkataan sini mamanya. iya tentu bukan papinya yang membuat Ole muak. Papinya itu adalah papi terbaik sedunia bagi Ole, tapi orang disamping papinya.
Mama tirinya yang membuat Ole muak. Sikap so manisnya dan kesinisan dan sarkatisme yang selalu dilontarkannya setiap kali papi pergi dari meja. Ular begitu Ole meyebutnya.
Papi dan Mami Ole memang sudah lama bercerai, tapi dia tidak kehilangan kasih sayang keduanya. Bahkan papi dan mami masih berhubungan baik walaupun sekarang punya keluarga masing-masing.
Ole tinggal dengan Mami dan Ayahnya yang begitu mencintainya di Surabaya. Sementara papinya sering bepergian dan punya kediaman di Bandung di kota kelahiranya, dengan mama baru yang bahkan tak pernah mau menerima Ole. Kalau dia bilang menyayangi Ole, itu hanya bualan di depan papinya.
Papinya adalah salah satu orang berpengaruh dan sangat terpandang, apartment yang ditempati Ole pun adalah hadiah dari papinya. Sekeras apapun Ole menolak, papinya akan memaksa.
Bukannya mami Ole tidak berada, di Surabaya pun keluarga Ole begitu terpandang hanya saja papinya ini memang lebih dari itu dan si ular serakah disampingnya seakan tidak rela jika hanya Ole penerus papinya, karena dia bahkan tidak punya keturunan dari papi.
Dan ketika papi ingin bertemu itu tidak akan pernah hanya Ole dan Papi.
Ole bingung, jika biasanya Sabila, Friska atau Caca bisa dengan mudahnya menyetujui ajakan Ole. Hari ini kondisinya berbeda. Sabila baru berangkat karena urusan pekerjaan ke Kuala Lumpur, Friska di Bangkok sedangkan Caca...
"Duhh... sorry banget ya Le... kalau ga lagi mual gue temenin deh aslik" Kata Caca di telepon.
"Santai aja sih Ca, lagian kesehatan elo yang paling penting sekarang" Jawab Ole, sesungguhnya otaknya sedang berfikir keras. Siapa yang akan diajak nya pergi hari ini.
"Terus jadinya elo sama siapa? Pas banget Sabila baru berangkat gini sih" Ole mendengar nada khawatir Caca dengan jelas. Oh ayolah bahkan Caca tidak boleh dibebani olehnya.
"Masih ada A Narend kali Ca. Santai aja. Gue tinggal minta dia. Pasti mau"
"Oh iya!!! Si Aa... dia pasti tau kan Le? Tenang deh kalau elo jalan sama dia"
"Hahaha iya iyaaa... yaudah gue mau nelpon dia deh kalau gitu, atau ke apartmentnya ajalah langsung. Cepet sehat Ca..."
Setelah itu, Ole tampak berfikir apa tidak apa-apa mengajak Narend? Tapi Ole benar-benar tidak punya pilihan lain. Masa bodoh tentang hubungan mereka yang merenggang sekarang. Yang penting Narend harus mengantarnya.
Dan dengan langkah pasti Ole berjalan ke apartment Narend.
***
"Ayo dong A... anterin" Ole sekarang sedang merengek di depan Narend yang entah ada angin dari mana weekend pagi seperti ini sudah bangun. Ketika Ole masuk, Narend cukup terkejut. Ya karena ini kali pertama sejak beberapa hari dia tidak berkomunikasi dengan Ole.
"Kemana sih Le...??? Gue udah ada janji" Kata Narend, Narend yang baru selesai mandi ini sibuk mengeringkan rambutnya di sofa.
"Nanti gue kasih tau, plis dong A... gue gabisa banget nih sendirian" Kata Ole lagi, sekarang handuk yang Narend pakai untuk mengeringkan rambut sudah ada di tangan Ole, wanita itu dengan sigap mengambil alih pekerjaan itu.
"Pleaseee"
Narend menghela nafasnya tampak berfikir. Tanpa sadar Ole tersenyum, biasanya jika sudah begini Narend akan mengabulkan keinginannya. Narend akan selalu memprioritaskannya. Mungkin terdengar egois. Tapi Ole senang dengan fakta itu.
"A?" Kata Ole melihat Narend yang kini menimbang sambil melihat handphonenya.
"Sorry Le... gabisa gue udah janji sama Vero" Kata Narend akhirnya, dan hilang sudah senyum di wajah Ole. Ole tidak tau kenapa tapi rasa kecewa benar benar melandanya saat ini. Bahkan pelupuk matanya sudah berat.
Ole bangkit dari duduknya.
"Oh yaudah, gue balik A" Ole berjalan cepat menuju pintu keluar dan apartmentnya. Tanpa sadar satu air mata menetes jatuh dan dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan Narend.
Ole sadar ini bahaya.
Bahaya...
Karena tanpa sadar dia terlalu bergantung pada Narend, tanpa sadar dia selalu ingin Narend memprioritaskannya, tanpa sadar Ole menaruh harapan dan tanpa sadar dia merasa dikecewakan.
***