dua puluh tiga

472 77 8
                                    

Happy reading
Typo bertebaran, belum di revisi.
.
.
.
.

"Hoesok hyung, kau tak latihan?" Jungkook memakai baju kaos hitamnya.

"Tidak, aku mau istirahat," jawab Hoseok malas, membalik badan menghadap tembok.

"Waeyo? Kau sakit?" Seokjin yang mendengarkan percakapan mereka meletakkan tangannya di kening Hoseok. "Tidak panas."

"Aku hanya sedikit lelah, Hyung."

"Sepertinya begitu, kau baru pulang dini hari tadi. Sudahlah biarkan dia istirahat dulu." Namjoon masuk ke kamar tidur mengambil topi, ketika mendengar percakapan itu.

"Nanti kalau sudah baikan kau bisa menyusul ke studio, 'kan? Besok evaluasi terakhir kita. Setelah itu akan ada pembahasan konsep untuk debut pertama kita."

"Iya, Joon. Aku pasti datang," jawab Hoseok. Mereka pun meninggalkan Hoseok yang tertidur di balik selimut.

"Apakah tidak apa-apa meninggalkan Hoseok hyung sendirian? Bagaimana kalau dia butuh sesuatu?" Jimin melangkah ragu menuju halte. Ia khawatir akan kondisi Hoseok. Karena baru pertama kali ini Hoseok absen dari latihan. Apalagi besok evaluasi akhir mereka diumumkan.

"Tidak apa-apa. Dia bisa jaga diri. Lagi pula tubuhnya sehat, hanya mungkin sedikit lelah. Tidur sebentar dia pasti akan pulih." Jawaban Namjoon berhasil menenangkan Jimin.

Mereka pun melanjutkan perjalanan menaiki bus kota untuk sampai di studio. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk mereka sampai. Setelah itu tanpa membuang waktu mereka pun menuju ke ruang latihan.

Sementara itu, Hoseok memastikan semuanya sudah pergi. Perlahan ia bangkit. Menghela napas, menghalau pening di kepalanya. Kecewanya sudah menumpuk sejak semalam. Matanya sembab, tapi Hoseok masih berhasil menyembunyikannya dari yang lain.

Perlahan Hoseok pun bangkit. Merapikan tempat tidur, membersihkan diri barulah mengemasi barang-barangnya. Ia akan pergi. Bagaimanapun hatinya tidak sanggup jika harus mendengar pengumuman besok.

Hingga beberapa jam berlalu Hoseok pun menyelesaikan mengemas barangnya. Membuat sebuah pesan di secarik kertas. Lalu meletakkannya di meja. Hoseok melangkah keluar dorm  itu dengan berat hati. Ada banyak kenangan di sana yang membuat Hoseok kembali menitikkan air mata.

Tak ingin berlama-lama terbawa perasaan Hoseok pun bergegas menuju halte menunggu bus datang. Sepertinya ia harus kembali ke Gwangju untuk menenangkan diri sesaat.

Menata ulang impiannya. Mungkin juga menyerah dan memilih mengikuti ujian pemerintah untuk menjadi pegawai pemerintahan. Entahlah. Ia akan memikirkannya nanti.

Sebelum sampai di halte, sejenak Hoseok pergi menuju minimarket dekat dorm mereka. Membeli minuman dan camilan untuk bekalnya di perjalanan nanti.

Namun, ketika akan kembali ke halte ia melihat sosok Jimin dan Jungkook turun dari bus. Hoseok memundurkan langkah dan bersembunyi.

"Apa yang mereka lakukan? Kenapa mereka kembali?" gumamnya.

Memperhatikan Jimin dan Jungkook dari tempat yang sedikit jauh, Hoseok mencari celah untuk bisa kembali ke halte dan menunggu bus yang akan datang.

Jimin dan Jungkook pun menghilang masuk ke dalam gang menuju dorm mereka. Bergegas Hoseok menggeret koper dan berlari menuju halte. Beruntung sebuah bus jurusan statsiun Gwangju datang.

Segera Hoseok berdiri di belakang seorang pria tua yang akan naik ke dalam bus itu. Menunggu giliran, akhirnya Hoseok mengangkat kopernya untuk masuk ke bus, barulah ia menyusul naik.

Namun, seketika langkahnya terhenti ketika sebuah tangan menariknya kembali turun. Sementara yang lainnya mengambil kembali koper pakaian pemuda itu. Memberi isyarat agar supir bus segera melajukan mobilnya. Hoseok gagal untuk naik.

"Apa yang kalian lakukan?" Hoseok menatap tajam pada Jimin dan Jungkook.

"Harusnya kami yang bertanya, Hyung. Apa yang kau lakukan dan kau mau ke mana?"

"Itu bukan urusan kalian!" hardik Hoesok. Bermaksud menghentikan taksi, tapi Jungkook membawa lari tas pakaiannya.

"Ya! Jungkook kembalikan!"

"Tidak!" jerit Jungkook sambil terus berlari menuju dorm. Sementara itu Jimin menekan nomor Namjoon dan segera memberitahukan apa yang dilakukan Hoseok.

Namjoon pun mengatakan akan segera kembali ke dorm. Hoseok menyerah. Ia duduk di kursi tunggu halte dengan lesu. Kepalanya menunduk menatap jemarinya yang saling bertautan.

Di sisi lain, Jimin masih mengawasi tindakannya. Bergeming dari tempatnya berdiri. Sejenak Hoseok menghela napas lelah, mengangkat kepala menatap jalanan.

"Harusnya kalian biarkan aku pergi. Kalian akan menyesal menahanku di sini," ucapnya.

"Apa maksudmu, Hyung? Aku tak mengerti dan juga tidak mau mengerti," jawab Jimin. "Kau ingat bagaimana kalian mempertahankan aku tetap ada di sini? Lalu sekarang aku harus senang dan tenang melihatmu pergi begitu?"

Jimin mendengus tipis, ia tersenyum miring sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kau egois, Hoseok hyung."

Mendengar kata-kata itu Hoseok tersenyum tipis. "Memangnya apa yang kau tahu soal keegoisan, Jimin? Masih terlalu dini bagimu untuk memahami arti dari sebuah perjuangan dan kegagalan."

"Begitukah?" Jimin menyeringai sinis. "Lalu apa tindakanmu ini sudah membuktikan kau sudah berpengalaman dalam perjuanganmu?"

"Sudahlah aku tak ingin mendebatmu. Sebaiknya kau telepon Jungkook agar mengembalikan koperku."

"Tidak akan! Kau pikir aku akan membiarkanmu bertindak pengecut dan pergi tanpa pamit? Tidak. Kau akan tetap di sini bersama kami," tegas Jimin. Membuat Hoseok semakin geram.

Ia harus segera pergi sebelum Namjoon dan yang lainnya datang, membuat semua jadi semakin runyam.

"Dengar Jimin, ini tak semudah yang kau pikirkan jadi jangan keras kepala. Kembalikan tasku. Minta Jungkook mengembalikan tasku, sekarang!"

"Cih. Berharap saja. Aku tidak akan melakukannya." Hoseok menggeram marah. Ia menarik kerah Jimin, berbicara sambil berteriak nyaring.

"Memangnya apa yang kau tahu soal masalah ini sampai kau ingin mencegahku pergi? Dengar Park Jimin, kita berteman tapi bukan berarti kau punya hak untuk mengatur hidupku. Ini keputusanku untuk keluar dari group dan kau tak bisa mencegahnya!"

Hoseok mendorong Jimin, hingga Jimin bergeser mundur beberapa langkah. Pria bermarga Park itu enggan untuk melawan. Namun, suara tawa kekecewaan keluar dari bibirnya.

"Pengecut," desisnya. Hoseok menatapnya nyalang, tapi Jimin tak peduli.

"Kau pernah sesumbar akan mempertahankan aku. Akan mengatasi masalah keuangan BigHit bersama-sama. Bahkan kau bekerja keras untuk menghasilkan uang. Lalu kenapa sekarang kau berubah jadi pengecut?!" teriak Jimin.

"Apa yang membuatmu ingin lari? Tak percaya pada kami? Tak percaya kalau kita bisa menjadi satu team dan bisa sukses bersama? Berikan aku satu alasan agar aku bisa mengizinkanmu pergi!"

"Sudahlah kau tak akan mengerti," ucap Hoseok. Lalu beranjak menjauh, hendak menyusul Jungkook.

"Kalau begitu buat aku mengerti, Hyung!"

"BigHit akan menendangku! Kau puas?! Mereka tidak membutuhkanku lagi! Lead dance, main dance mereka sudah punya kau, Jungkook dan Taehyung. Vocal juga mereka sudah punya kau, Jungkook, Taehyung dan Seokjin. Rap line mereka sudah punya  Yoongi dan Namjoon. Lalu tempatku di mana?! Mereka akan mengusirku!" teriak Hoseok membuat Jimin bungkam.

"Siapa yang akan mengusir siapa?! Apakah etis kalian bertengkar di pinggir jalan seperti ini?!"

Keduanya menoleh ke asal suara, sama-sama terdiam menatap presensi pria jangkung yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Tbc.

Bulletproof (We Are Not Seven With You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang