chapter 11

382 32 3
                                    

Saat itu pak Prasetya sama sekali tidak punya uang sepeser pun untuk membayar biaya rumah sakit yang sangat mahal tempat Dita dilahirkan.

Namun dengan tekad yang kuat ia akan berusaha mencari usaha baru yang akan ia tekuni dengan sungguh-sungguh demi memenuhi kebutuhan istri dan buah hatinya itu.

Pak Prasetya keluar dari rumah sakit mencari angin segar, istri dan anaknya sedang tertidur nyenyak.

Kepalanya kini diisi oleh berbagai masalah yang sedang menimpa keluarga kecil mereka.

Ia terus berjalan dengan langkah yang pelan tanpa tahu arah kemana pemberhentian akhir dari perjalanannya ini.

Tanpa ia sadari langkah itu membawanya kembali ke tempat awal mula ia merintis usaha dengan susah payah, letih, kerja keras, perjuangan, sedih, haru, tawa, canda bersama istri tercinta dan beberapa karyawan yang bekerja restoran miliknya.

Ia menatap dengan tatapan lesu. Seperti tak menyangka ini akan terjadi.

Bangku dan meja seolah menjadi saksi bisu atas jejak langkah kejadian demi kejadian yang terlukis didalam ingatannya.

Ia melihat pantulan dirinya dari kaca restoran. Dulu ia berada didalam sebagai bos. Sementara kini, hanya dengan tulisan "restoran ini telah disita." Bisa membuatnya keluar dari restoran itu dan menjadi pengangguran yang tak tahu kemana lagi tempat ia akan mencari uang.

Perlahan rintik rintik hujan dari langit mulai turun seolah tahu isi hati salah seorang insan bumi yang hancur berkeping keping saat ini.

Air mata mulai bercucuran, ia menangis bukan karena takut tak memiliki harta untuk anak istrinya. melainkan ia merasa gagal menjadi ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, karna ketika menikahi ibu Ratna, ia berjanji akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya itu dan tak akan pernah membuat buk Ratna menangis karena dirinya.

Namun hari ini, ia telah gagal menepati janjinya itu. Ia membuat buk Ratna menangis.

Didepan buk Ratna ia bagaikan superhero yang tak kenal kata tangis,
Ia tak mau terlihat seperti lelaki berjiwa kecut dihadapan isterinya.
tapi dibelakang buk Ratna ia mengadu pada Tuhan akan sedih yang memuncak dalam raga dan jiwanya.

Menangis merupakan cara satu satunya untuk meluapkan kekecewaan yang ia rasakan. Ia buntu sekarang tak tau harus pergi kemana untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya.

Ia kembali berjalan dengan langkah yang lambat dan lemah. Air mata dipipinya semakin bercucuran. Hati dan pikirannya tidak karuan.

Langkahnya kini terhenti tatkala memasuki komplek elit tempat ia tinggal beberapa jam yang lalu.

Tampak seorang satpam berjalan dari pos menghampiri pak Prasetya.

"Pak Prasetya kenapa jalan kaki pak?" Tanya pak Bejo

"Tidak apa apa pak Bejo, saya hanya ingin melihat rumah saya untuk terakhir kalinya". Ucap pak Prasetya dengan mata yang berkaca kaca.

"Hah?! Kenapa pak Prasetya berbicara seperti itu toh?" Tanya pak Bejo dengan aksen Jawa.

Namun pak Prasetya hanya membalas pertanyaan pak Bejo dengan seulas senyum. Untuk saat ini ia masih syok dengan kejadian tadi siang, sulit untuk menceritakannya kembali.

Pak Bejo melihat aura kesedihan pada Wajah pak Prasetya mulai paham dan tidak memperpanjang persoalannya.

"Baiklah kalo begitu mari tak antarkan pak Prasetya"

Pak Bejo kembali ke posko untuk mengambil motornya. Dikarenakan rumah pak Prasetya lumayan jauh dengan posko satpam maka pak Bejo menawarkan untuk mengantarnya sampai didepan rumah.

Gendut No Problem {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang