Pencet bintangnya dulu 🌟
"Ma, Ara pamit dulu, ya?"
Dengan berat hati aku harus meniggalkan mama, aku harus segera berangkat ke Jakarta.
Karena setelah mertuaku tau kalau Christian kecelakaan, ia langsung menyuruhku untuk membawa Christian berobat ke Jakarta.
"Ia nak, kamu hati-hati, ya. Jaga kesehatan, mama lihat akhir-akhir ini, wajahmu pucat," kata Mama seraya mengelus-elus wajahku.
Akupun merasa begitu, berat badanku mulai menurun. Dan akhir-akhir ini badanku terasa lemah dan tidak enak.
"Iya, ma. Mama juga harus jaga kesehatan lho! Mama juga, belum sepenuhnya sehat, kan? Jangan kerja yang berat-berat dulu, utamakan kesehatan." Aku berkata demikian sambil sedikit meremas bahu mama.
"Iya, sudah sana pergi! Nanti susah lagi buat mama, melepaskan-mu," ungkap mama. Kulihat ia tengah menghapus jejak-jejak air mata yang ada di pipinya.
Ya, Tuhan! Aku sangat menyayangi mama! Hanya dia satu-satunya keluarga yang ku-punya!
Berusaha tersenyum, aku memeluknya untuk yang terakhir kalinya. Aku harus menggunakan waktu yang singkat ini sebaik mungkin.
Sekitar lima menit aku berpamitan, akhirnya di sinilah aku, duduk termenung di kursi pesawat. Christian sudah sampai kemarin, karena Mama mertua, ingin putranya segera sampai.
Oh! Aku tidak tau apa yang akan terjadi, setelah aku sampai di sana.
***
Akhirnya, setelah tiga jam lebih di pesawat, aku tiba dengan selamat di Jakarta.
Pak Dani, Pria paru baya yang mengabdi padaku dan Christian sejak kami menikah, terlihat sedang menunggu di depan pintu keluar bandara.
Aku meneleponnya untuk menjemput-ku. Aku pun berjalan ke arahnya.
"Selamat siang, Bu!" sapa Pak Dani saat aku tiba di hadapannya.
"Iya, siang Pak!" balasku tersenyum.
Pak Dani, segera mengambil alih koperku dengan sopan. "Biar saya aja, Bu!"
"Eh, iya Pak!"
"Tunggu sebentar, ya, Bu! Saya mau ambil mobil dulu," kata Pak Dani, yangku balas dengan anggukan.
Ah, sepertinya aku butuh istirahat! Kepalaku pening, dan badanku serasa akan patah!
Kulihat Pak Dani telah turun dari mobil dan membuka bagasi, akupun mengangkat koper berniat untuk memasukannya ke dalam bagasi. Namun, Pak Dani segera menghentikan-ku.
Dengan bingung, aku bertanya, "Kenapa, Pak?"
"Eh, biar saya aja Bu, Ibu masuk aja ke mobil. Ehm itu, Ibu kelihatan pucat," jelas Pak Dani. Ia terlihat tidak enak.
Bahkan Pak Dani menyadari itu? Apa sangat kentara wajahku pucat?
Segera aku mengukir senyumanku, lalu berkata, "Oh iya, Pak makasih. Mohon bantuannya, ya!"
"Siap!" seru Pak Dani, kemudian hormat.
Sikapnya itu membuatku mengulas senyuman kecil. Pak Dani memang seperti ini, sopan namun sangat humoris.
Hari mulai siang. Matahari mulai mengeluarkan sinar panasnya. Bunyi klakson terdengar bersahut-sahutan. Cuaca yang panas ditambah padatnya kendaraan, menjadi deskripsi kota Jakarta saat ini.
Mungkin sedikit tidur, akan mengurangi pening di kepalaku.
"Bu, Bu? Bangun Bu, udah sampai."
Mengerjap-ngerjapkan mata, aku berusaha mengumpulkan nyawa, kemudian menatap Pak Dani di luar yang sedang berdiri di samping pintu penumpang. Ternyata sudah sampai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Istri
ChickLitWarning 21+ Harap bijak dalam membaca! Bagaimana jika seorang gadis masuk ke dalam rumah tanggamu dan mengaku hamil anak suamimu? Bagaimana perasaan dirimu sebagai seorang istri? Apakah kau mampu mempertahankan rumah tanggamu ? [Belum Revisi] 1#...