Part 17

9.7K 332 46
                                    

Pencet dulu bintangnya baru baca 🌟

Saran: kalau ingin feel cerita semakin terasa, coba anggap pemeran utama sebagai diri kamu sendiri. Pasti kalau pemeran sedih/senang, kamu pasti akan ikut, merasakan apa yang dirasakan pemeran. Soalnya saya gitu🙈🙈

________

"Apa, kabar? Maafin aku, ya? Baru dateng jenguk kamu." Masa bodoh kalau aku bicara sendiri.

"Kamu tau, gak? Waktu gak ada kamu, kehidupan yang aku jalanin akhir-akhir ini, sangat berat, Chris ... aku-- aku dikejutin sama sesuatu yang-- sebelumnya aku gak percaya ... ternyata selama ini, aku-- udahlah aku belum bisa bilang sekarang."

Perlahan aku mulai meniduri kepalaku di samping lengan Christian.

"Chris? Tadi aku nampar Sohena. Aku nggak mau direndahin, ditindas-- shit! Air mata sialan!" Aku mengumpat, saat tengah berbicara, air mata sialan ini keluar dengan tidak tau dirinya dari mataku.

"A-ah, maaf Chris ... Aku mengumpat hehe, kamu jangan marah, ya? Gak tau kenapa, akhir-akhir ini aku jadi lebih gampang tersinggung, dan air mataku dengan nakalnya, jadi sering keluar." Sial! Aku jadi seperti orang gila. Bagaimana tidak? Aku menggerutu sembari menangis, hah!

"Aku berubah, Chris ... tapi aku nggak nyesel udah berubah. Aku udah nggak bisa didorong kelantai lagi, udah gak bisa sembarang ditampar, intinya aku udah berubah, Chris. Aurora yang dulu udah mati! Tapi, masih ada satu fakta yang gak bisa berubah dari aku, Chris ... aku tetep gak bisa hamil ...." Keluarlah isakan yang sedari tadi tertahan.

Dada ini sangat sakit, kenapa ini terjadi padaku? Apa dosa yang pernah aku lakukan, hingga kesialan ini menimpaku ...?

"Aku harus apa, Chris? Aku udah coba semua cara supaya bisa menghilangkan k-kema-mandulan ini ... tapi, tapi tidak berhasil ...," racauku terbata-bata akibat tangisan yang sangat menusuk dalam ulu hatiku.

"Kalau bukan cuma karena aku sayang sama kamu, mungkin aku udah gak ada lagi, Chris ... aku harusnya udah pergi waktu Ibu terus saja menghina kesialanku ... tapi, tapi aku nggak nyerah, Chris ... aku sayang kamu sama mama dan-- ada sesuatu yang perlu aku buktiin ...." Ya, seharusnya aku udah gak ada lagi. Memangnya buat apa lagi aku hidup kalau gak ada guna? Ck, miris.

"Jangan ngomong gitu, Sayang ... aku gak suka."

Deg!

Air mataku menjadi lebih deras, saat suara lemah itu terdengar merdu di telinga hingga menusuk di dadaku.

Tergesa, aku yang tadinya membaringkan kepalaku di samping lengannya, bangun duduk kemudian menatapnya terdiam.

"Christian ...?" Bahkan suaraku tidak keluar saat memanggilnya.

"Iya, Sayang ... ini aku. Kemarilah."

Tubuhku kaku. Rasanya semua sel-sel tubuhku tidak berfungsi lagi. Aku--

"Jahat! Kamu jahat! Chris ...." Dalam sekejap, aku menerjangnya dengan pelukan erat.

"Sttt, maafin aku, ya?" Christian tersenyum manis seraya menghapus air mataku.

"Ng-nggak! Kamu bangunnya, lama! A-aku s-sakit, Chris ... kamu jahat!" Kali ini diiringi dengan pukulan lemah di dadanya.

"Aku nggak pergi, Aurora ... aku ada di sini."

"Tapi, kamu bangunnya lama!" Biarkan saja aku terlihat menyedihkan, lagian hanya di depan Christian.

"Aku udah sadar dari tadi, Sayang," ujarnya tanpa beban.

Saat mendengar itu, aku tidak bisa menahan diri untuk kembali memukulnya. Kali ini tidak lemah lagi, tapi dengan kuat.

"Tuh 'kan jahat! Dasar! Argh, kamu tega!"

"Akh! Akh maafin ak-aku, sakit sayang." Christian merintih-rintih kesakitan. Namun itu tidak bisa memberentihkan pukulanku. Malahan aku memukulnya semakin keras diiringi air mata.

"Gak, Chris! Kamu jah--"

Cup!

Aku membeku saat merasakan sesuatu yang kenyal menempel di bibirku. Aku terlalu terkejut hingga tak bisa berkata apa-apa saat sesuatu yang kenyal itu menjauh dari bibirku.

"Ternyata harus diginiin dulu baru, diem." Bahkan saat Christian berkata, aku masih belum bisa mengeluarkan suaraku.

"Aurora? Hei? Kamu denger aku, gak? Sayang ...?"

"Akh!" Aku mengusap-usap pipiku, yang kena cubit, siapa lagi kalau bukan Christian.

"Sakit, tau ...." Aku yang tadinya ingin membentak, terhenti saat Christian memandangku dengan senyum geli yang terpantri di wajah pucatnya.

"Ah-- kk-kamu, apa-apaan, sih!" ujarku berusaha mengalihkan pandangan darinya.

"Maaf," katanya dengan sorot penyesalan.

Mana mungkin aku marah lagi, jika ia menatapku begitu? Tanpa menunggu lama-lama lagi, aku menerjangnya dengan pelukan hangat.

"Saranghae," ujarku. Haha pasti dia tidak mengerti.

"Nado, saranghae."

Ternyata dugaanku, salah. Aku merenggangkan pelukanku, lalu menatapnya kaget. "Kok, kamu tau?"

Christian terkekeh. "Taulah, aku sampai hafal kata itu, gimana enggak? Tiap malam kamu nonton, volumenya keras banget. Mana kalau udah ada kata itu kamu ketawa-ketawa sendiri lagi, bikin takut aja. Yang lebih serem kalau kamu nangis--"

"Sttt! Nggak usah dilanjutin, Chris!" Dengan panik aku segera membekap mulutnya. Astaga! Jadi ia tau, kalau aku tiap malam-- ahh sudahlah! Memalukan!

"Hei? Kok, mukanya merah, sih? Coba lihat sini, kamu sakit, ya? Astaga, Sayang ...."

Dasar gila! Aku tau, tidak ada apa-apa di wajahku, ia hanya sedang mengusiliku. Argh, pipi nakal!

"Apasih, udah ah!"

"Enggak, Sayang ... coba lihat sini, aku janji gak akan usilin kamu lagi, deh. Ayo, sini lihat." Christian terus saja merayuku. Apalah dayaku, kalau dipanggil sayang, langsung nurut. Dengan ragu, aku kembali menatapnya .

Cup!

Saat itulah, semuanya gelap.

***

Eungh ... Dimana, ini? Ruangan putih lagi? Ah, pasti aku ketiduran saat menjenguk Christian. Tapi, kenapa aku yang ada di brankar?

Ceklek!

Seorang pria yang dibalut pakaian rumah sakit dan duduk di kursi roda menjadi sang pelaku yang datang masuk kemari. Jadi, aku bukan di ruangan Christian?

"Chris?" Aku memanggilnya. Ya, dia Christian. Kenapa ia hanya terdiam?

"Aurora ... kamu--" Christian seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi, ia terus menahannya. Ada sesuatu yang salah?

"Kenapa, Chris?" tanyaku.

"Aurora, kamu--" Ia menatapku dengan tatapan penuh arti.

"Iya, kenapa?" Aku mengerutkan dahiku bingung.

"K-kamu--" Lagi-lagi ia menjedanya.

Dengan gemas aku bertanya lagi. "Iya, Chris ... aku kenapa?"

"Aurora, kamu--"

"Argh! Kenapa, Christian? Jangan bikin aku bentak, kamu ...." Argh! Lagi-lagi air mataku keluar.

"Iya, kamu--" Ia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Sialan, Chris! Kalau kamu mau bilang sesuatu, langsung bilang aja! Gak usah kayak, gini ...." Habis sudah kesabaranku. Dan sialanya, saat aku membentaknya, air mataku semakin deras mengalir.

Pandangan kami beradu. Aku yang menatapnya dengan air mata berlinang, dan ia menatapku dengan sorot mata yang sendu.

"Kamu ...."

🍁🍁🍁

Kira-kira apa yang akan Christian bilang? Kabar baikkah? Kabar burukkah? Jadi takut😭😭

Jangan lupa vote & komen!

Dua Istri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang