Part 15

10.9K 331 25
                                    

Pencet bintangnya dulu baru baca 🌟

Menghembuskan nafas panjang ... dan aku siap.

Ceklek!

Hal pertama yang tertuju di mataku, Sohena. Ya, Sohena yang sedang menatap dalam Christian yang masih tertidur damai di atas brankar sialannya itu. Sohena masih belum menyadariku.

Oh, tidak! Baru tiga hari hidup bersama Damian, mulutku menjadi tak terkendali.

Dengan keberanian yang setengah-setengah, aku mengeluarkan suara. "Ehem, bisakah kamu, minggir? Aku ingin menemui suamiku." Aku memasang raut datar.

Err, sepertinya jika matanya itu laser, pasti aku sudah terbelah dua.

O-ow, ia berjalan kemari. Namun, itu tidak bisa melunturkan raut datar di wajah dan niatku.

"Ah, Wanita jalang sudah kembali?" Sepertinya, ia menyindirku.

Jika dulu kepalaku tertunduk dan menitikkan air mata, sekarang tidak lagi. Ya, walaupun masih sedikit menyentil di dada. Maklum, ini pertama kalinya aku melawan.

"Jalang, ya? Ah, nggak, nggak. Kamu lebih pantas mendapatkan julukan itu, Sohena," ujarku santai, dan menekankan namanya. Huh, wajahku memang santai, tapi di hati masih sedikit ... takut? Ya, mungkin.

Wajah Sohena merah padam dan sedikit tersentak. Memerah karena marah atau malu? Tersentak karena aku melawan? Entahlah. Namun, ia dengan cepat mengganti mimik wajahnya.

"Wow, rupanya si penyakitan ini, mulai berani, hm? Oke, mari kita lihat sampai di mana keberanianmu." Sohena dengan seringainya itu, sangat mengerikan.

"Cih, jalang kecil sepertimu, menantangku?" tanyaku seraya meliriknya dari ujung kaki hingga kepala.

"Dengan senang hati, Ny. Sanjaya." Aku merubah raut wajah yang tadinya menilai, menjadi tersenyum sopan, lalu membungkuk ala-ala pelayan pada tuannya.

"Ah, apa aku harus memanggilmu Ny. Sanjaya?" tanyaku polos. "Mungkin berbagi marga denganmu nggak masalah," tambahku menekankan kata 'berbagi'.

Karena rupanya, Sohena tipikal orang yang tidak ingin berbagi apa yang dimilikinya, hingga ia berusaha menyingkirkan aku dari Christian.

Yah, meski aku masih tidak tau, apa motifnya menggangu kedamaian rumah tanggaku.

"Yah, walaupun sebenarnya aku nggak suka berbagi, apalagi berbagi suami. Sesuatu yang dibagikan itu hanya untuk orang yang tidak mampu atau kurang mampu. Kenapa gitu? Karena kalau seseorang mampu dan bisa, kenapa ia harus minta sesuatu untuk dibagikan padanya? Kalah ada, orang-orang seperti itu tidak untuk dikasihani. sampah. Ya, mereka sampah." Tersenyum manis tanpa dosa, menjadi hal yang kulakukan saat ini menikmati raut wajahnya yang sudah merah padam.

"Kamu!" Sohena menunjukku dengan jari telunjuknya. "Kamu menyindirku?!" lanjutnya dengan geraman.

Haha, sepertinya ia tersindir. Rasakan itu!

"Hah!" Aku pura-pura terkejut, seraya membekap mulutku. "Apa, kamu merasa tersindir? Padahal, aku hanya mencurahkan isi hati ...," lirihku dengan tampang tidak berdosa. "Apa jangan-jangan, kamu pernah melakukan hal seperti orang-orang yang aku ceritakan, tadi?" tanyaku menyimpitkan mata.

"Argh! Tau apa, kamu?! Dengar, Aurora, kali ini aku melepaskanmu! Tapi, tidak lain waktu! Kamu pikir, hanya karena kamu berani melawanku sekarang, aku akan tunduk padamu?! Tidak, Aurora, tidak!"

Sepertinya ia sangat marah. Terlihat dari wajahnya yang semakin memerah, serta tatapannya sudah seperti akan menelanku hidup-hidup. Sangat mengerikan.

"Melepaskanku? Emang aku buat kesalahan? Kayaknya enggak deh, perasaan tadi cuma curhat. Kamu aja yang baperan--"

"Waktunya pulang Sweety, kau sudah cukup bersenang-senang, bukan? Jika Kau di sini terus, takutnya seseorang akan darah tinggi," ujar seseorang merangkul pinggangku. Dari suaranya aku sudah tau, siapa itu.

"Diam kalian! Keluar! Keluar ...!" bentak Sohena kelihatan frustasi dan panik. Aku bingung, kenapa setiap kali Sohena berhadapan dengan Damian, ia selalu terlihat panik dan ketakutan.

"Yang harus diam itu, kamu Sohena. Kamu udah kayak banteng yang baru lepas dari kandang--"

"Cukup, Aurora. Kau tidak lihat, wajahnya sudah seperti tomat busuk? Jadi diamlah, sebelum ia menjadi monster tomat busuk."

"Ups! Itu sangat menyakitkan! Aku turut menyesal," ujarku dengan tampang menyesal. Sebenarnya, jika dilihat langsung, tampangku seperti sedang meledek. Haha, tapi aku memang sengaja.

Jika kami berada di dalam kartun, mungkin mata Sohena sudah keluar.

"Argh! Kalian gila!" jerit Sohena kesetanan.

"Yes, we are." Damian dan aku saling menatap, kemudian terkekeh, karena kami mengucapkan kata-kata itu, bersamaan.

"Sudah, cukup. Keluar! Keluar sebelum aku memanggil sekuriti untuk mengusir kalian!" Sohena mengusir kami, tapi tidak sampai mendorong. Sepertinya ia takut pada Damian.

"Ayo, Aurora, kita keluar sebelum ia mengeluarkan tanduk." Sindiran Damian, membuatku tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat perutku sakit.

***

"Sepertinya jika aku tidak datang, kau akan bertransformasi menjadi iblis."

Sindiran Damian, tidak membuatku tersindir atau apa, malahan aku menyetujuinya. Entah kenapa, aku sudah seperti terbiasa menggertak dan melawan Sohena tadi. Aku seperti kerasukan!

"Well, aku juga tidak tau, kenapa aku bisa seperti itu. Mungkin karena aku mulai nyaman membuatnya marah, kau tau, kan, aku baru pertama kali, berbuat seperti tadi," jelasku pada pria yang sedang menyeruput kopi hitam di depanku.

Yup, saat ini kami sedang berada di salah satu cafe yang terletak tidak jauh dari rumah sakit.

"Ck, tapi tadi kau sudah seperti orang yang berpengalaman." Damian menatapku jengkel. "Namun, sudah seharusnya kau begitu. Mulai sekarang, aku tidak mau mendengar kau ditindas lagi. Understand?"

"Yes, Sir," jawabku seraya memutar bola mata malas.

"Tapi, sejak kapan, kau berada di dalam? Aku tidak mendengar pintu dibuka." Sebenarnya, ini yang dari tadi sangat ingin kutanyakan.

Damian, mengetuk-ngetuk 'kan jarinya di atas meja. "Kapan, ya? Mungkin saat kau menyindirnya? Entahlah, aku lupa."

Aku membalasnya dengan anggukan kepala. Ada sesuatu, yang sedari tadi aku pikirkan. Membuatku sangat terganggu. Mungkin aku harus bilang pada Damian.

"Ehm, apa tadi aku berlebihan pada, Sohena?" Akhirnya aku menyuarakan apa yang membuatku sedari tadi terganggu.

"Hah, ayolah Aurora. Yang kau lakukan tadi sudah benar, kau tidak usah memikirkan perasaannya. Wanita seperti itu, pantas mendapatkannya!"

"Fine," ujarku pasrah.

Yah, aku harus tegas dari sekarang. Karena sepertinya, aku mulai nyaman dengan apa yang aku jalani sekarang, meskipun barangkali masih rasa bersalah jika membentak orang.

Namun, aku harus berusaha menepis semua itu! Sudah cukup aku ditindas direndahkan! Saatnya aku bangkit dan merebut, apa yang sebenarnya milikku!

Sepertinya aku akan datang lagi ke rumah sakit untuk menjenguk Christian. Sial! Kalau saja Sohena tidak berulah, pasti aku sudah menghabiskan waktu dengan Christian!

🍁🍁🍁

Mana yan waktu itu minta buat Aurora bangkit? Nih, sekarang Aurora-nya jadi sadis😱

Apa masih kurang sadis? Oke, tunggu Aurora berikutnya😈😈

Buat yang bingung cara bicara Aurora pada Sohena dll non-formal dibandingkan bicara formal pada Damian, itu karena Aurora dari awal sudah terbiasa bicara formal ke Damian.

Pokoknya gitu, semoga ngerti:)

Jangan lupa vote dan komen! Nggak mau komen next><

Dua Istri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang