Part 24

6.7K 193 10
                                    

Pencet dulu bintangnya baru baca 🌟

"Lepas, lepasin aku Damian! Biar aku beri pelajaran pada perempuan gila ini!" Aku memberontak, berusaha lepas dari jeratan Damian.

"Mohon tenang Bu, biar kami yang proses semuanya." Pria paru bayah berseragam polisi itu, angkat bicara.

"Nggak! Nggak Pak! Gara-gara dia, nyawa suami saya melayang!" Sedih, sakit hati, emosi, menjadi satu yang saat ini kurasakan.

"Sweety, tenang dulu ,hm? Kau sedang mengadung, apa kau ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kandunganmu?"

"Aku nggak peduli, Damian! Aku mau kasih pelajaran yang setimpal buat dia! Lepas!" Keadaanku yang sedang hamil, tidak menghentikanku untuk memberi pelajaran pada jalang sialan itu!

"Cih, kamu nyerah aja Aurora-ku sayang. Dari pada kamu repot-repot bales aku, mending kamu cara ayah buat anak kamu itu."

"Diam kamu sialan!"

"Hei! Namaku Sohena, bukan sialan."

Ya, wanita gila itu Sohena! Wanita yang menyabotase motor suamiku, Christian! Wanita yang menjadi perusak hidupku sejak awal!

"Diam kamu! Dasar wanita gila, wanita nggak berperasaan!" Aku menunjuk-nunjuk wajahnya.

"Yes i'm."

"Argh! Lepas! Lepas aku Damian! Perempuan kayak dia pantas dikasih pelajaran!" Akhirnya Damian melepaskanku. Setelah aku berhasil dilepaskan, langsung saja aku menjabak rambut Sohena yang sedang ditahan polisi.

"Ahahaha! Silahkan, silahkan buat sesuka kamu Aurora, aku nggak peduli. Mau kamu buat aku mati aja, aku nggak peduli." Ia tidak meringis atau apa saat aku menjambaknya, ia sangat santai.

Namun tiba-tiba, ia menatapku tajam. "Yang penting, kalau aku nggak bisa dapetin Christian, kamu juga berarti enggak! Camkan itu Aurora!"

Plak!

Dua tamparan di pipi kiri dan kanan, kuberikan pada wanita gila di depanku. Aku tidak perduli pada orang tuanya yang ada di sini. Karena mereka pun tau, kalau anaknya sudah gila!

"Sudah Sohe, berhenti," ujar Ibunya dengan lembut. "Nggak, Ma! Gara-gara dia, Christian lupain aku!" Wanita gila itu menyela.

"Pak, silahkan lanjutkan. Bawa dia." Ayahnya angkat bicara.

"Baik," balas pak polisi itu seraya membawa Sohena yang tersenyum sinis tanpa penyesalan sedikit pun di wajahnya.

Aku tersentak saat ibu Sohena berlutut di hadapanku. "Maaf Nak Aurora, maafin anak ibu ya, Nak. Ibu nggak nyangka Sohena akan berulah sejauh ini, udah satu tahun Sohena menghilang. Saya dan ayahnya udah nyari-nyari dia kemana-mana, bahkan kita udah lapor polisi, tapi hasilnya nihil Nak, Sohena nggak ditemuin di mana-mana ...." Wanita paru baya yang sangat mirip Sohena, menangis tersedu-sedu.

Sebenarnya aku tidak tega pada Ibu ini, tapi wanita mana yang tidak hancur jika suaminya meninggal akibat perbuatan orang yang egois? Aku tidak marah pada orang tuanya. Aku hanya marah pada anaknya, sudah itu saja.

Kalau pun aku menyalahkan orang tuanya atau membunuh Sohena meski tidak mungkin kulakukan, tapi itu percuma, karena orang yang telah tiada tidak bisa dibangkitkan lagi.

"Berdiri Bu, jangan gini, saya nggak nyalahin atau marah sama Ibu dan Bapak, tapi lebih ke Sohena-"

"Nggak Nak, nggak. Ibu dan Bapak sebagai orang tuanya merasa nggak becus ngurus Sohena. Dia mengidap Histrionic Personality Disoder atau bisa dibilang dia ingin diperhatiin, kalau nggak dia akan semakin menjadi. Bisa dibilang juga, dia punya obsesi terhadap sesuatu. Kami udah lama cari Sohena, Nak, kami takut dia akan buat sesuatu yang merugikan orang lain, akhirnya setelah lama mencari, kami dikabarkan polisi kalau Sohena sudah menikah dan tertangkan karena menyabotase kendaraan suamimu, maafkan keteledoran kami Nak, kami nggak minta buat bebasin Sohena, tapi cukup memaafkan kami-"

Air mataku menetes mendengar penjelasan Ibu Sohena. Entah itu perjuangan mereka sebagai orang tua, atau pun Sohena yang mengidap suatu penyakit mental. Tidak tahan aku segera memotong perkataan ibu Sohena dan mengajaknya berdiri. Ayah Sohena yang berlutut juga, kuajak berdiri.

"Sudah, berdiri Bu, Pak. Jangan seperti ini, saya memang hancur, terluka. Tapi, setelah mendengar penjelasan Ibu dan Bapak, saya memakluminya. Saya juga minta maaf atas perlakuan saya tadi terhadap Sohena, apalagi dia sedang mengandung. Saya akan membebaskan Sohena sampai dia melahirkan-"

"Nggak! Enggak Nak, jangan minta maaf pada kami, justru kami malu atas perlakuan Sohena. Jangan bebaskan Sohena, Nak, dia pantas menerima apa yang ia buat. Biarkan dia melahirkan dipenjara, biarkan dia sadar atas apa yang ia perbuat, biarkan ia sembuh dulu. Jangan begitu Nak, kamu terlalu baik untuk itu. Jangan terlalu baik untuk sesuatu yang merugikan kamu, kamu bisa dimanfaatkan karena kebaikan kamu, sekali lagi maafkan kami."

"Iya Bu, Pak. Lebih baik Bapak sama Ibu temenin Sohena dulu, kasihan dia sendiri," saranku pada mereka. Sebenarnya aku tidak ingin perduli, tapi setelah mendengar penjelasan mereka, aku sedikit bersimpati walaupun hatiku hancur saat mengatakannya.

"Makasih Nak, kami nggak tau lagi harus apa." Mereka pun berlalu.

"Kemari." Damian memanggilku.

"Apa?" Aku berusaha tegar.

"Ck, kau tidak perlu sok kuat setelah semua ini. Kemarilah, aku tau kau sedari tadi menahannya."

Mulutku kelu, aku menangis tanpa suara. Bahkan saat Damian menarikku ke dalam dekapannya, aku masih membeku.

"Damian ... sekarang aku gimana? Anak aku gimana? Apa aku harus ikut Christ-"

"Shit! Diam Aurora! Jangan pernah sekali-kali kau bicara seperti itu! Apa kau tidak memikirkan orang-orang yang menyayangimu, anakmu? Ibumu? Aku?! Apa kau akan pergi tanpa memikirkan kami?! Apa aku tidak berharga di matamu, Aurora?!"

Deg!

Aku salah ... Damian benar, kenapa aku tidak memikirkan orang-orang yang menyangiku? Tapi aku, aku tidak bisa ... dan aku perlu waktu untuk semua ini. Bentakannya menyadarkanku hingga aku menangis histeris. Aku memukul-mukul bahunya.

"Menangislah, lampiaskan semua yang kau tahan selama ini. Aku menyayangi dan mencintaimu. Kau sudah bekerja keras hari ini."

🍁🍁🍁

Huwaa😭 Ada yang sedih gak? Ceritain dong perasaan kalian setelah baca ini. Aku maksa pokoknya 😤😤

Buat yang gak tau apa itu Histrionic Personality Disoder bisa search di google.

Jangan lupa vote dan komen!

Dua Istri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang