Part 12

10.4K 334 25
                                    

Pencet bintangnya dulu baru baca 🌟

Aw! Sepertinya tanganku lecet.

"Wah, wah ... mari kita lihat siapa di sini. Oh, wanita penyakitan?"

Ejekan itu, membuatku mendongkakkan kepalaku ke atas. Sohena?

Mencoba untuk tenang, walaupun sebenarnya dalam dada ini sakit. Aku tidak meladeninya, karena aku tau, jika meladeninya, aku yang akan tersakiti lagi.

Wajahnya tampak kesal. Mungkin karena aku mengabaikannya?

"Cih, apa selain mandul, kamu bisu?!"

Sabar. Tahan Aurora.

Dengan senyuman mengembang, aku menjawabnya, "Sepertinya tidak. Apa maumu, Sohena?"

"Simpel saja," ujarnya. Kemudian ia mendekatiku lalu berbisik, "Jauhi, Christian!"

Plak!

Oh, tidak ... aku, aku refleks menamparnya.

"Sohena, maafkan aku, kamu gak papa 'kan?" tanyaku sembari mendekatinya.

Astaga, ia mulai menangis ...

Aku berusaha menjauhkan tangan dari wajahnya yang menghalangi aku untuk melihat separah apa, tamparan-ku hingga ia menangis.

"Hei, hei ... jawab aku, Sohena. Aku benar-benar minta maaf," tuntut-ku panik. Kenapa, ia tidak menjawab?!

Ah, akhirnya! Sohena mengangkat wajahnya. "Mama ...."

Apa? Mama?

"Apa yang kamu lakukan pada menantuku?!"

Deg!

Suara itu, terdengar bergemuruh di dadaku. Dengan penuh kehati-hatian, aku mulai membalikkan tubuhku.

"Ibu?" panggilku pada wanita paru baya yang menatapku seakan ingin melahap-ku hidup-hidup.

Bersusah paya, aku meneguk air liurku, saat ia melangkah kemari. Aku menutup mata, dan meremas kuat tas yang ada di genggamanku. Aku siap menerima tamparannya.

Lima detik

Sepuluh detik

Ehm, Ibu tidak menamparku? Aku menetralkan pernafasanku, kemudian membuka mata perlahan.

Di mana mereka? Itu tidak penting!

Astaga! Ibu tidak menamparku?! Mimpi apa aku semalam. Dengan senyuman mengembang, aku membalikkan tubuhku.

Plak!

Hah, ternyata aku salah ....

"Kenapa, Bu? Kok, Ibu nampar, aku?" Senyuman manis, terbit di wajahku.

"Cih, jangan memanggilku Ibu! Aku tidak sudi punya menantu sepertimu!"

Ucapan dari wanita paru baya yang sedang memeluk, menantu tersayangnya, semakin membuatku ingin mengeluarkan air mata.

"Haha, Ibu ngomong apa, sih? Bukannya dulu Ibu ingin aku jadi menantu, Ibu?"

Jika mengingat waktu masih pacaran sama Christian, Ibu mertua sangat sayang padaku. Hingga setiap kali aku berkunjung, Ia selalu menyajikan cake cokelat kesukaanku.

Ya, tapi itu dulu ....

"Dasar naif! Iya, dulu aku sangat untuk menjadikanmu mantuku! Tapi, sekarang, aku sangat tidak sudi mempunyai menantu penyakitan, yang tidak bisa memberiku cucu! Aku heran kenapa anakku tidak mau menceraikanmu! Huh, aku sudah salah mendidiknya!"

Masih pada pendirianku, untuk tidak menangis.

"Kami saling mencintai ..., Christian juga tidak keberatan, belum punya keturunan. Kalau ibu ingin cucu, kenapa saat aku dan Christian ingin mengangkat anak, Ibu nggak setuju?"

Dua Istri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang