Part 29

16.4K 236 10
                                    

Pencet bintangnya dulu baru baca 🌟

"Relax, jangan terlalu tegang." Damian menenagkanku yang mungkin mengetahui kegugupanku.

Peluh telah berjatuhan di sekitar dahiku. Aku gugup. Bagaimana tidak? Ini untuk pertama kalinya setelah sekian lama!

"Ck, apa kau masih lama? Kakiku sudah keram." Pria dengan Jochia dalam gendongannya, mulai mengeluh.

Rasa frustasi mulai menyerangku. Aku bingung, di sisi lain aku masih belum siap untuk bertemu dengan seseorang itu, tetapi di sisi lain juga aku mulai merasa kasihan pada Damian dan Jochia yang sedari tadi berdiri di depan pintu yang megah seperti orang kurang kerjaan.

Menarik napas dalam, aku berusaha tegar. "Hah, aku siap!" seruku tegas menatap Damian.

Pria dengan balutan baju santai itu terkekeh geli menatapku dan mencium gadis kecil yang sedari tadi diam. "Yasudah, sekarang kita masuk." Damian mulai membuka pintu dan masuk, diikuti aku dari belakang.

Dasar tidak sopan.

Baru satu langkah melewati pintu masuk, Damian berhenti. "Sebaiknya kau berhati-hati, setau aku, dia itu galak," katanya kemudian berlalu.

"Sialan! Tambah buat gugup aja! Tenang, Aurora, tenang. Lakukan seperti biasa yang kamu lakuin. Tarik nafas ... hem—"

"Josi?"

Deg!

Suara berat itu terdengar bergemuruh di dada. Membuatku sadar dari pikiran yang berusaha menenangkan diri.

Adrenalin berpacu cepat, saat mataku bertubrukan dengan sorot mata tajam seorang pria paru bayah, yang masih mempunyai badan kekar, terlihat dari otot-otot tangannya yang menyembul di balik kaos putih polos.

Seketika nafasku tercekat, oleh aura kekuasaan sang pria paru bayah yang begitu kental. Namun, dibanding itu semua, rasa haru dan kecewa menjadi campur aduk yang saat ini kurasakan.

Pandanganku mengabur. Air mata dengan tiba-tiba jatuh begitu saja, dengan mata yang masih menatap pria di atas anak tangga itu. Yang tadinya hanya setetes air mata perlahan menjadi puluhan ribu air mata.

"Aurora Josephine Langdord."

Pertahananku luntur seketika saat mendengar sebutan itu diikuti sorot mata yang melembut. Tubuhku luruh ke lantai. Isakanku mulai terdengar keras dan menjadi saat tangan kekar dan hangat mendekapku.

"Sorry."

"Dad ...," lirihku dalam pelukannya.

"Aku tidak pantas disebut sebagai seorang ayah, Josephine. I am a freaking bad fa—"

Dadaku nyeri saat mendengar kata-katanya itu. Aku tidak ingin mendengarnya lebih jelas lagi. "Nggak, Pa ... " Aku segera memotongnya.

Tangannya merambat ke atas kepalaku, dan mengusap lembut di sana. "Im sorry."

"K–kenapa ba–baru, sekarang?" Suaraku serak.

"Aku minta maaf, Josi ... aku memang tidak pantas disebut sebagai seorang ayah—"

"Engg—"

"Sttt, biarkan aku yang bicara."

Aku hanya pasrah saat ia melanjutkan kata-katanya.

"Aku memang ayah yang buruk, bahkan suami yang buruk. Suami macam apa, yang tidur dengan wanita lain saat istrinya baru saja melahirkan? Walaupun memang aku hanya khilaf, tapi tetap saja."

Deg!

Jadi ini, alasan mama tidak memberitahuku lebih jelas tentang Papa? Kau wanita yang kuat ma ....

Dua Istri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang