Part 16

10.4K 352 33
                                    

Pencet dulu bintangnya baru baca 🌟

Sudah dua hari berlalu saat aku datang berkunjung di rumah sakit. Sebenarnya, satu hari setelah kejadian, aku berencana untuk datang lagi.

Namun, Damian melarangku. Katanya, aku harus beristirahat untuk mengumpulkan tenaga agar bisa melawan Sohena dan Ibu lagi. Pada awalnya, alasan Damian tidak masuk akal bagiku.

Namun, setelah kupikir-pikir lagi, akhirnya aku menyetujuinya.

Sekarang, di sinilah, aku. Di depan ruang VVIP atau bisa dibilang, kamar inap Christian.

Kemarin, aku dikabarkan oleh Dokter Raga, kalau keadaan Christian mulai membaik dan telah dipindahkan ke ruang inap. Tinggal menunggu ia sadar. Saat mengetahui itu, besoknya atau hari ini, aku langsung bergegas kemari.

Dokter Raga, sebenarnya bukan dokter yang merawat Christian, ia adalah dokter kandungan. Namun, karena aku cukup dekat dengannya, ia membantuku memantau perkembangan Christian. Karena ia juga bekerja di rumah sakit yang sama, tempat Christian dirawat

Tanpa ragu seperti kemarin-kemarin, aku membuka pintu ruangan Christian. Pemandangan yang kulihat sekarang ini, sama seperti dua hari yang lalu. Ya, Sohena yang menatap Christian sendu, dan Christian yang masih tidak ingin bangun dari mimpinya.

"Hai, Sohena! We meet again." Aku menyapanya dengan senyum tulus. Saat ini aku hanya ingin bertemu Christian, bukan ber
tengkar dengan medusa itu. Ya, kecuali ia yang memulai, apa boleh buat.

"Kukira kemarin kamu cuma mimpi aja, ternyata enggak! Kamu memang berubah, Aurora! Tapi itu nggak akan buat aku takut dan mundur untuk nyingkirin kamu!"

Cih, tidak bisakah ia santai sedikit? Padahal niatku hanya ingin mengunjungu Christian, tidak ingin bertengkar!

"Ah, jadi kamu sekarang udah terang-terangan, mau nyingkirin aku dan buat Christian satu-satunya buat kamu? Ck, dasar pelakor tidak tau diri! Tenang aja, sebelum kamu nyingkirin aku, kamu duluan yang akan tersingkirkan," ujarku datar.

"Jadi kamu nantang aku? Sialan, coba aja!"

"Hei, kamu tuh lagi hamil, nggak boleh ngumpat, kualat lho!" ledekku bergedik ngeri.

Belum sempat ia mengeluarkan suara, aku mendekatinya, lalu mengelus perutnya yang mulai membesar. "Hai, Dedek bayi! Jangan contohin mama kamu, ya? Kamu harus jadi anak baik dan beretikat! Jangan ikutin sifat mama kamu, kalau pun sifat kamu ada turunan dari mama, boleh lah. Minimal jangan sampai ngerebut suami orang--"

Saat itu lah, tanganku ditepis kasar. Yang sudah pasti pelakunya wanita bunting di depanku.

"Aw! Calm down, babe!" pekikku seraya mengusap-usap bahu yang didorongnya. Itu hanya akting saja, mana mungkin hanya didorong sakit.

"Kamu! Kamu nggak berhak, buat nasehatin anakku!" Ia menjeda ucapannya. Kemudian raut wajahnya berubah menyeringai. "Dari pada menasehati anakku, mendingan kamu urusi diri sendiri yang nggak hamil-hamil."

Sial! Ia membalasaku! Tapi tidak semudah itu, Sohena ....

"Kuakui ucapanmu tepat mengenai sasaran. Tapi tidak semudah itu, Sohena ... aku bukan seperti kamu yang menghalalkan segala cara buat mewujudkan keinginan sendiri ...." Menjeda ucapan, aku menatapnya menyelidik. "Apa jangan-jangan anak yang ada di rahimmu, salah satu bagian dari rencanamu untuk menyingkirkan aku buat mendapatkan, Christian? Kalau memang benar, aku hanya bisa tersenyum miris, Sohena. Setidaknya, pakailah cara yang lebih berkelas ...." Aku mendekatinya lalu berbisik," Jangan pakai cara sampah kayak gini ...."

Plak

"Hei! Santai dikit, kasar banget," keluhku mengusap-usap pipiku yang sudah panas akibat kena tampar. Sialan, kali ini memang benar-benar sakit!

"Kamu harus diberi pelajaran untuk sikapmu, Aurora ... sudah cukup kesabaranku!" Sohena menatapku tajam. Err mengerikan!

"Ck, cuma itu kesabaran, kamu? Lemah! Kalaupun, ucapanku tidak sesuai dengan apa yang kamu lakuin, kenapa harus marah? Sekarang aku benar-benar curiga, apa yang aku bilang benar."

Keterdiaman Sohena, menambah kecurigaanku yang memang telah bersarang di otakku semenjak ia hadir.

Tapi, sesuatu yang dibuatnya sekarang, membuatku terkejut. Bagaimana tidak? Ia memegang tanganku seolah-olah, ingin menangkis tamparanku.

Tidak sampai di situ, ia bahkan menundukan kepalanya dan menangis.

"Aurora!"

Oh, jadi ini maksudnya? Membuatku menjadi pelaku dan ia korbannya di depan Ibu mertua, yang entah sejak kapan ada di sini?

Cih, setelah ia memperagakan ulahnya ini pada Christian tempo hari, ia ingin memeragakan pada Ibu mertua juga? Hah, mari kita lihat, Sohena ....

Karena posisiku membelakangi pintu, ditambah Sohena masih menahan tanganku, aku hanya bisa mendogkakkan kepala, menyahutnya. "Hm, kenapa?" tanyaku datar.

Lima detik

Sepuluh detik

Sepertinya ia terkejut dengan sahutanku barusan. Cih, sebelumnya pasti di ia pikir aku akan menunduk lalu minta maaf, karena bentakkannya.

"Lancang sekali kamu! Apa kamu pikir, kamu bisa menampar menantuku?!" Ibu mertua terlihat murka. Persetan dengan bentakannya, itu tidak membuatku takut!

Plak!

"See? Aku bisa menamparnya." Ya, aku menampar menantu kesayangannya!

"Kenapa? Terkejut? Baguslah, kalau begitu. Ternyata begini rasanya menampar serangga, menyenangkan." Menepuk tangan dengan anggun, aku berkata pada mereka berdua.

"Ah, apa Ibu pengen coba? Jarang-jarang aku menampar orang, kalau Ibu pengen, bilang aja sama aku, dengan senang hati, aku bantu rasain sensainya," ujarku menyeringai.

Apa Ibu mertua takut? Kelihatannya ia memucat? Astaga, baru tamparan belum pukulan.

"Akh, mama, sakit ...," lirihan itu membuatku mengarahkan pandangan ke arah samping.

"Astaga, Sohena! Bibir kamu pecah! Oh, my-- maafin aku, aku nggak bermaksud buat nampar, kamu ... tadi, itu-- astaga! Tadi itu aku hanya membuktikan pada Ibu, kalau aku bisa tampar kamu ... maafin aku, ya?"

Aku memegang bahu Sohena, seraya menatap gadis dengan sudut bibir pecah, yang tampaknya sedang syok. Haha, rasain itu! Jangan coba-coba bermain denganku, Sohena ....

"Kamu, gila! Ayo, Sohena kita keluar dari sini, mama akan mengobatimu." Ibu mertua akhirnya mengeluarkan suaranya. Namun, tidak sesuai pikiranku, kukira ia akan menampar balik lalu memaki-makiku, ternyata tidak.

Padahal aku masih ingin bersenang-senang, tapi apa boleh buat? Namun aku tau, ia tidak akan melepaskanku begitu saja.

Brak!

"Huh, biasa saja tutup pintunya, gak usah pakai banting kali," dengusku saat Sohena dan Ibu keluar.

Dari pada, menyumpahi keduanya, lebih baik aku melihat Christian. Ya, Tuhan! Melihat keadaannya, membuat dadaku sakit.

Memposisikan tubuhku pada kursi di samping brankar, Christian, aku mulai berbicara padanya.

"Akhirnya, aku bisa melihatmu dengan tenang, tanpa gangguan nenek sihir." Mengenggam tangannya erat, aku menatapnya dengan penuh kasih sayang.

🍁🍁🍁

Udah sadis, gak? Aurora?

Tanggapan buat part ini? Tolong, jangan cuma next/lanjut😶

Typo bertebaran:)

Jangan lupa vote dam komen

Dua Istri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang