BAB 11. Menanti hari bahagia

198 26 12
                                    

⚠Please don't copy this story

Selamat membaca... 💐


________________________

Aisyah melangkahkan kakinya dengan cepat. Gemuruh di hatinya masih saja berdesir. Bagaimana bisa Mirza mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti hatinya? Mengapa semua orang seperti tidak merestui dirinya bahagia? Di mata Tuhan manusia mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai seorang hamba. Lalu mengapa manusia sendiri membuat perbedaan melalui kasta dan beberapa hal yang lainnya? Sungguh hati manusia tiada yang bisa mengira.

Langkah gadis itu terhenti ketika sampai di depan pintu ruangannya. Dengan pelan dia mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati tersebut. Seorang gadis remaja berusia delapan belas tahun muncul dari balik pintu. Gadis berhijab warna pink dengan balutan gamis berwarna navy itu melambaikan tangan ke arahnya seraya menyematkan sebuah senyuman. Kemudian gadis tersebut mempersilahkan dia masuk. Padahal ruangan tersebut adalah miliknya.

"Aira, kenapa ke sini di waktu jam kantor? Kakak baru saja selesai ikut meeting. Kamu sudah menunggu lama?" Ujar Aisyah kemudian ia mendudukkan tubuhnya di hadapan Aira.

Aira menggelengkan kepalanya. "Nggak papa kakak ipar, tenang saja. Oh ya, bukannya kontrak kerja kakak di Mediatama sudah berakhir ya?"

"Bu Mey, resign, Ra. Jadi kakak yang menggantikan beliau. Sebenarnya aku bisa memilih kembali ke Ubaidillah, tapi sepertinya akan lebih baik jika kakak terima tawaran dari kakakmu saja," jelas Aisyah.

Aira mengangguk paham, dia mengerti bagaimana amatirnya para senior di Ubaidillah merisak calon kakak iparnya tersebut. Bahkan di Mediatama juga Aisyah tidak luput dari perkataan miring para karyawan di sana. Tak selang lama, seseorang mengetuk pintu ruangan Aisyah. Membuat Aira yang posisinya lebih dekat dengan pintu, dia yang membukakan pintunya. Gadis yang masih duduk di bangku SMA itu mendadak jadi gugup. Seorang pria dengan gips yang masih melekat di leher, rambut bilah tengah, kulit putih dan seutas senyum yang meneduhkan, tengah tersenyum ke arahnya. Pria itu berulangkali melambaikan tangannya di depan wajah Aira, tapi gadis itu masih saja diam mematung.

"Mbak Aira, Aisyahnya ada? Hey?" Ujar pria itu.

Aisyah terkikik geli menatap raut wajah Aira yang sudah memerah dengan sempurna. Dia menarik lengan Aira supaya bergeser ke samping. Kemudian dia menunjukkan dirinya di hadapan pria tersebut.

"Ya, Pak Umam. Ada yang bisa saya bantu?" Ujar Aisyah.

"Boleh saya pinjam berkas MoU meeting tadi pagi? Sepertinya ada yang terlewat dari data saya," ujar pria bernama Umam tersebut. Seorang chief editor yang beberapa waktu terakhir berhasil mencuri hati seorang Aira.

"Tunggu sebentar saya ambilkan. Silahkan masuk pak, duduk dulu," jawab Aisyah membuat debar di dada Aira kian berdetak lebih cepat.

Umam tersenyum seraya mengangguk. Dia duduk di bangku di sebelah Aira berdiri. "Memandang yang bukan mahram lebih dari tiga detik itu dosa," ujarnya tiba-tiba. Pandangannya tetap fokus menatap almari di belakang tempat duduk milik Aisyah.

Aira terkesiap, seolah terbangun dari sihir. Dia tersenyum kikuk. "Ma-maaf, Pak. Sa-saya nggak bermaksud...," Aira bingung harus berkata apa, seolah kosa kata di otaknya itu terbang dan menghilang.

PELANGI- Finish (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang