#18

112 13 0
                                    

Sore tadi, ketika Aleya pulang. Aleya mendapati Mamanya menangis dipelukan Airy. Bisa Aleya pahami jika mamanya sedang kumat.

"Anak Mama sudah pulang." Ucap Bella berlari memeluk Aleya. Hanya namanya yang bernama Aleya, tapi bayangan Elina masih tetap melekat.

Aleya pasrah terus dipeluk seperti ini, hingga Mamanya kembali tidur karena pengaruh obat tidur yang Airy suntikkan.

"Mbak, bagaimana kalau kita bawa Mama ke rumah sakit aja.? Rasanya menunggu Papa itu terlalu lama." Ucap Aleya. Ia tak ingin kondisi Mamanya semakin parah.

"Mbak sih juga mikir gitu. Aku telpon Papa dulu yah. Minta izin dulu." Setelah menelpon Papanya dan mendapatkan izin untuk membawa Mamanya ke rumah sakit. Akhirnya, Aleya dan Airy menggiring Mamanya ke rumah sakit tempat Airy bekerja. Artinya ada Abe.

Airy mengurus segalanya termasuk jadwal bertemu dokternya. Aleya yakin, jika Airy akan memilih Abe untuk menjadi dokter yang menangani Mamanya. Karena Abe merupakan salah satu dokter saraf terbaik yang rumah sakit ini miliki.

Dugaan Aleya benar ketika Airy mendorong kursi roda Bella menuju lorong ruangan praktek Abe. Abe tidak terkejut, karena ia sudah dihubungi terlebih dahulu oleh Airy.

Dihadapannya telah tertera sebuah papan yang menandakan bahwa pemilik ruangan ini adalah Abe.

dr. Elrabi Bagaskara Sp.S(K)

Bella dibiarkan tertidur dulu dan menunggu dirinya siuman. Setelah menunggu sepuluh menit akhirnya Abe mengambil tindakan dengan mengambil sempel darah Bella dan memeriksa Bella.

"Loh.? Tante gak sakit kok." Ucap Bella ketika melihat dirinya berada di rumah sakit.

"Ma, Mama sebaiknya dengarkan Abe." Ucap Airy. Ia tak ingin Mamanya kembali meronta dan berteriak teriak.

Abe tersenyum, "Tante memang gak sakit. Abe hanya ingin memeriksa keadaan calon mertua Abe. Karena Abe tak ingin kalau tante ini sakit. Abe lihat bibir dan wajah tante pucat. Apa tante sedang sakit.?" Aleya yang menunggu dibalik bilik pemeriksaan tersenyum menatap Abe yang begitu ramah pada pasiennya.

"Iya, akhir akhir ini kepala tante sering pusing, Be. bahkan tante sering lupa. Padahal umur tante ini gak tua tua amatlah. Baru jalan limapuluh." Jelas Bella. Percakapan Bella dan Abe mengalir begitu saja. Bella menjelaskan kondisinya dengan rinci.

Airy berkedip kearah Abe mengisyaratkan sebuah kode. "Kayaknya tante ini lagi beneran sakit, bagaimana kalau untuk beberapa hari kedepan tante dirawat dulu." Saran Abe.

Setelah beberapa bujukan dari Abe akhirnya Bella mau dirawat inap. Airy bergegas mencari kamar rawat kosong untuk segera memindahkan Mamanya. Jadilah, tinggal Abe dan Aleya diruangan tersebut, serta Bella yang sedang tertidur. Keduanya sama sama canggung.

"Al, apa kabar?" tanya Abe membuka suara.

"Seperti yang kamu lihat."

"Ujian kamu lancar?" tanya Abe lagi.

"Yah gitu. Aku memang gak jawab semuanya tapi aku yakin."

Kembali hening. Hingga Abe menyerah dan mengutarakan kembali pikirannya. "Al, aku rasa jarak ini sudah cukup. Aku menyerah." Ucap Abe

"Lalu.? Kamu sudah menemukan jawabannya?" tanya Aleya.

"Aku.."

"El,, Elinaa." Teriak Bella dari bilik tersebut. Dengan langkah cepat Aleya menghampiri Bella yang sedang menangis. Aleya masuk dan memeluk Bella menyalurkan rindu akan Mamanya. Sayangnya, rindu Mamanya memanggilnya dengan nama Elina bukan Aleya.

Abe diam, ia tak dapat mengungkapkan dengan kata kata apa yang sedang dipikirannya. Ia sedih melihat Aleya yang hidup dalam bayangan Elina. Bahkan, Mamanya hanya melihat Elina. Tak menganggap Aleya ada.

"Kamu lihatkan? Menjadi Aleya itu berat. Aku saja sampai kagum pada Aleya yang terlihat baik baik saja." Ucap Airy yang mendapati Abe menyaksikan kisah ibu dan anak itu.

"Sejak kecil Aleya hidup dengan bayangan Elina, bahkan saat Elina masih hidup. Terlebih ketika Elina pergi. Elina pergi menyisahkan beban berat untuk Aleya. Aleya dituntut menjadi Elina. Elina yang sempurna tanpa celah." Jelas Airy, ada kesedihan didalamnya ada rasa tak terima melihat Aleya yang menanggung beban berat.

"Menjadi dokter bukanlah pilihan Aleya. Ini pilihan Elina yang diwujudkan melalui Aleya, mungkin, hidup Aleya juga bukan pilihannya. Ini adalah pilihan yang Elina berikan saat melepaskan kaki Aleya dari jepitan kursi kemudi." Airy menangis, ia tak sanggup melihat adiknya terus hidup dalam bayang bayang Elina.

"Tapi, anehnya Aleya tak pernah menolak. Aku ingat, Aleya dengan pasrahnya melepas beasiswa ke Parisnya untuk memenuhi keinginan Mama. Mama memintanya berkuliah di universitas yang Elina cita citakan. Kalau aku jadi Aleya, aku pasti sudah memberontak. Aku akan marah dan benci pada Mama yang terus menghidupkan Elina dalam diriku." Jelas Airy.

Abe terkekeh mendengar penjelasan Airy. "Itu yang tak kamu miliki dan Aleya miliki. Aleya penurut dan akan mengorbankan segalanya untuk orang orang yang ia sayangi." Tutur Abe. Hal inilah yang membuat dirinya selalu memilih Aleya.

"Be, aku percaya sama kamu, karena kita teman. Aku titip Aleya, jangan sakiti Aleya lagi. Aku yakin kamu bisa menghapus luka Aleya. Aleya sudah cukup tersiksa Be, batin dan fisiknya mungkin sudah lelah." Kata Airy menepuk pundak Abe.

"Makanya, kamu harus baikan dulu sama Aleya." Yang tadinya tengah bersedih kini nada suara Airy berubah mengejek.

Airy yang hendak melangkah meninggalkan ruangan Abe kembali berbalik menatap tajam lelaki tersebut.

"Awas aja kamu, kalau sampai aku dengar kamu ada affair sama dokter Liora. Habis kamu Be, ditangan aku. yAh, meskipun aku gak dekat banget sama Aleya. Tapi, Aleya adik aku satu satunya. Aleya akan menjadi satu satunya orang yang menjadi tempatku berbagi ketika mama dan papa aku udah gak ada." jelas Airy.

Melalui ucapan Airy tersebut, Abe tau jika Airy ini sangat sangat menyayangi adik semata wayangnya itu. Dan setelah ini, ia berjanji untuk berdamai dengan Aleya.


Croire ABTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang