#37

354 19 7
                                    

Sudah tujuh hari semenjak peristiwa tersebut, maka sudah tiga haripula Bella meninggalkan Aleya dan keluarganya. Kepergian Bella menorehkan luka yang benar benar mendalam bagi Aleya. Aleya sampai tak tau lagi ia harus berkata apa untuk mengungkapkan rasa sedihnya.

Tahlilan hari ketujuh ini berlansung dengan khidmat diikuti dengan Aleya yang terus dipeluk Airy karena tangisnya yang tak kunjung redah. Jihan yang ikut hadir menyaksikannya juga merasakan bagaimana sakitnya Aleya. 

"Al udah, mama gak akan tenang kalau kamu kayak gini." Ucap Airy setelah berhasil membawa Aleya meninggalkan ruang tamu. Airy membawa Aleya ke kamarnya, selama tiga hari itu Airy tak pernah sama sekali melihat Aleya makan, bahkan ia sering mendapati Aleya tetap terjaga saat malam hari.

Aleya tak menjawab ucapan Airy ia terus menggumamkan nama mamanya diikuti tangisannya.

"Al, bukan cuma kamu yang sedih. Aku juga, Papa, Aunty." Ucap Airy.

"Mbak, harusnya Aleya ada disana. Aleya ada saat mama sedang menghadapi maut. Al benar benar gak guna. Aleya banyak salah sama mama mbak, Al pasti anak yang berdosa banget sama mama. Mama benci Aleya mbak." Ucap Aleya disela tangisnya.

Ia terus dihantui oleh rasa bersalahnya pada Bella karena ia tak ikut hadir disaat terakhir Bella. Dimana ia harusnya membantu Bella menghadapi maut yang akan menjemputnya.

"Kamu tidur aja dulu, Mbak kebawah dulu." Ucap Airy setelah melihat Aleya sedikit tenang.

Dibawah Airy menghampiri Jihan yang tengah membantu keluarganya menyapa dan menjamu beberapa tamu yang ikut hadir. 

"Bunda." Panggil Airy. Jihan yang merasa dirinya terpanggil berbalik menatap Airy dengan tatapan sendunya.

"Ai, kamu kenapa sayang? Aleya mana?" Tanya Jihan menanyakan keadaan calon manantunya itu. Jihan juga tak tau apakah ia masih pantas menganggap Aleya sebagai calon menantunya setelah perlakuan putra sematawayangnya kepada gadis malang itu.

"Aleya lagi istirahat." Jawab Airy.

"Syukurlah, bunda khawatir sama dia. Sudah beberapa hari ini dia kelihatan sedih banget." 

"Bun, Airy mau bicara sama bunda." Ucap Airy menggiring Jihan ke taman belakang.

Sampai di taman belakang Airy dan Jihan sama sama diam memandangi lampu kamar Aleya yang masih belum dimatikan. Menandakan Aleya masih terjaga hingga saat ini.

"Bun, Abe kemana? Dia sama sekali gak khawatir sama calon istrinya? Apa Aleya setidak berarti itu untuk Abe bun?" Tanya Airy.

Jihan terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Airy.

"Bunda gak tau dimana Abe saat ini. Sudah bunda coba hubungi tapi handphone Abe mati. Bunda sudah minta tolong ke Coki untuk mencarinya tapi, sampai sekarang nihil." Jawab Jihan

Airy tak menjawab, kali ini Airy benar benar kecewa dengan sikap Abe. Lebih kecewa daripada beberapa tahun lalu. Abe kembali melukai bagian dari Airy. 

"Bun, jujur aja, Airy gaksuka dengan sikap Abe yang seperti ini. Dia terlalu menggampangkan perasaan Aleya karena Aleya yang terlalu bodoh dan selalu memaafkannya. Airy gak bermaksud lancang atau membuat bunda tersinggung. Tapi, Ai tetap kakak Aleya. Aleya satu satunya adik Airy." Ucap Airy.

Jihan paham maksud Airy. "Airy, maafkan anak bunda."

"Sudah jadi kewajiban Airy untuk melindungi Aleya dari sesuatu yang bisa melukainya termasuk anak bunda. Cukup Elina yang pernah terluka oleh Abe. Waktu itu Ai sama sekali gak peduli sama hubungan mereka. Karena Ai tau Elina orang yang bisa mengendalikan dirinya. Tapi, untuk saat ini Ai gakakan tinggal diam bun. Ai gak mau lihat adik Ai sedih. Mama Ai sudah cukup untuk menjadi beban terberat Aleya." Jelas Airy.

Croire ABTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang