Chapter Nineteen | Revisi

19.6K 727 5
                                    

—~Happy Reading~—

I Love You, My Bastard.

"Kapan mereka akan menjemputku?"

"Lama sekali, ini sudah lewat 5 menit."

Anak laki-laki dengan tali botol minum yang di sandangkan di lehernya, menatap cemas-cemas jalanan lengan di depan sekolahnya.

Ia mencari-cari sang supir yang seharusnya sudah tiba, 10 menit sebelum bel sekolah berbunyi. Tapi ini hampir lewat 6 menit supirnya belum datang juga.

Anak laki-laki itu memandang gelisah ke sekitar, dimana hampir sebagian teman-temannya sudah meninggalkan pelataran sekolah. Ia sendiri disini, memegang erat botol minumnya. Kepalanya mengadah menatap langit yang perlahan-lahan menutupi cerahnya. Pertanda bahwa sebentar lagi hujan akan turun.

"Ck." Anak itu berdecak kembali, sepatunya ia ketuk-ketukan ke tanah. "Jika ibu peri benar-benar ada, bisakah dia memanggil seorang supir yang lebih cepat kesini, aku benar-benar tak tahan. Berdiri sendirian, tidak punya teman, menyebalkan," rutuknya menatap sebuah dahan pohon yang biasa dijadikan tempat tinggal oleh peri-peri di cerita dongeng.

"SAKIT BU." Anak laki-laki itu berhenti mengetukan kakinya saat sebuah jeritan menyentuh indra pendengarannya. Ia memasang kupingnya tajam-tajam, memastikan apakah itu manusia atau halusinasinya saja.

Hingga jeritan kedua kembali terdengar, dengan perlahan ia melangkah mengikuti sumber suara yang ditangkap indranya.

"Bu.."

Mata anak itu membelak seketika, saat melihat seorang gadis yang lebih kecil darinya sedang diseret oleh seorang wanita dewasa memasuki sebuah gang kecil. Dadanya berdebar kencang, ia melihat dengan jelas raut kesengsaraan dari gadis cilik itu. Tanpa sadar kakinya mengikuti langkah wanita itu.

Ia mengendap-endap dibelakang mereka, mencuri-curi langkah saat wanita itu berjalan lurus kedepan. Sedangkan gadis cilik itu menatapnya dengan pelototan tajam, seakan menyuruh dirinya untuk pergi sebelum wanita itu murka.

Tapi pelototan itu sama sekali tak ia indahkan, dengan keberanian yang tinggi anak itu terus mengendap-endap mengikuti keduanya. Dengan senyum tipis yang sesekali ia lemparkan untuk menenangkan sang gadis cilik  yang masih berlinang air mata itu.

Hingga akhirnya keduanya sampai. Di sebuah rumah diujung jalan. Rumah yang tidak terlalu besar namun memiliki pekarangan seperti layakan lapanagan sepak bola. Anak itu berhenti di depan, mengamati keduanya lewat ekor mata tajamnya.

Ia kembali meringis saat tiba-tuba wanita itu membanting sang gadis cilik, perasaannya campur aduk antara tidak terima dan kasihan.

Karena tidak tahan dengan penderitaan penglihatannya, anak itu keluar dari balik tembok pagar. Berniat menghampiri, tapi kibasan diudara dari sang gadis cilik membuatnya tak berkutik. Ia mengamati dengan seksama bagaimana wanita dewasa itu menyiram sang gadis dengan sebuah air didalam ember yang sangat kotor.

Perlakuan wanita itu benar-benar diluar nalarnya. Jika wanita itu adalah ibu sang gadis cilik, harusnya ia tidak melakukan hal keji seperti apa yang dirinya lihat sekarang. Karena ibu, tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Ibu dari anak laki-laki dengan botol minum berwarna biru itu, selalu memperlakukannya layaknya dirinya adalah intan permata yang harus dijaga sepenuh hati. Bahkan ia tidak pernah melihat ibunya menaikkan nada suara apalagi memukulnya. Jika sang ayah ingin memarahinya pun, ibunya yang akan memarahi sang ayah terlebih dahulu sebelum bisa memarahi dirinya.

Apa yang ia lihat benar-benar keterlaluan.

Anak laki-laki berniat melangkah, tapi satu senyuman getir dari sang gadis cilik kembali membekukannya. Ia mematung ditempat tanpa bisa melakukan apapun, sedangkan dihadapannya sang gadis cilik tengah merasakan sakit yang luar biasa.

I LOVE YOU, MY BASTARD (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang