° Prolog °

1.1K 133 4
                                    

Juna, laki-laki berperawakan tinggi itu menengadah ke langit. Ia tersenyum. Bukan, bukan senyuman manis yang terbentuk, melainkan senyuman pahit tercetak jelas di bibirnya. Ia mengawang, berpikir bagaimana bisa semesta nampak cerah di saat harinya terasa buruk hari ini.

"Memangnya kamu pikir kenapa ia berujung di tempat itu?"

Suara itu, kalimat itu, benar-benar berhasil menganggu pikiran Juna sekarang. Ia benci mengakui bahwa orang itu ada benarnya. Benar bahwa Juna ikut berperan dalam peristiwa itu walaupun secara tidak langsung.

Mata Juna memejam, ia masih ingin menikmati lembutnya mentari yang sedang bersinar cerah hari ini. Seakan tidak peduli matahari hampir berada sejajar di atas dirinya, menandakan bahwa sinar itu sudah berubah terik dan tidak baik bagi kesehatan.

"Ma maafin Juna ya," Juna bergumam.

Laki-laki itu berusaha mencari ketenangan di antara belaian angin yang bersinggungan dengan kulitnya. Berpikir berapa lama lagi waktu yang harus ia habiskan sampai menemukan titik terang dalam masalahnya. Sudah 5 tahun semenjak peristiwa itu terjadi, berarti sudah 5 tahun juga pikiran Juna terus berputar tanpa henti.

♤♡◇♧

Nafasnya tercekat, ruang sempit dan gelap ini serasa menghimpit tubuh kecilnya. Ia ketakutan namun tidak dapat menggerakkan tubuhnya, kebiasaan mematung saat ketakutan membuat gadis itu semakin lemas tidak berdaya.

"T-tolong.." wanita itu berucap sangat lirih.

Anak kecil itu berusaha menahan isak tangis yang sedari tadi berusaha keluar, ia tidak bisa melakukannya, ia sedang dalam keadaan terdesak. Perntanyaan mengapa ia harus ada dalam kondisi ini memenuhi pikirannya terus menerus, membuat dirinya makin di selimuti rasa takut.

Kepulan asap kian merebak dan baunya mulai memasuki indra penciuman anak itu, ia memaksa tubuh kecil itu bergerak mengikuti naluri untuk menyelamatkan diri. Ia tidak bisa diam, ia harus pergi. Raganya berlari tapi hatinya ingin kembali, segala pikiran terus memberontak, tidak, tidak seharusnya ia meninggalkannya.

"Hhh..hh.." Shasha terengah-engah bangun dari tidurnya. Pelipisnya di penuhi keringat dingin di saat pendingin ruangan kamar itu masih menyala dalam suhu rendah.

"Sialan mimpi itu lagi."

♤♡◇♧

♤♡◇♧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



♤♡◇♧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

♤♡◇♧

Bitter PunchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang