° 04 °

312 69 0
                                    

Shasha mendudukkan diri pada salah satu kursi kantin. Perutnya sudah memprotes minta diisi sejak pelajaran pertama tadi. Ia merasa sial sekali karena tidak sempat sarapan pagi dan harus merelakan uangnya demi makan di kantin. Kalau saja dirinya tidak harus berurusan dengan air kontrakan yang tiba-tiba mati saat ia mandi, ia masih bisa bertahan hingga istirahat kedua nanti.

"Weh, tumben banget lo Sha ngantin jam segini," Felix mendudukkan diri di depan Shasha.

"Lo ngapain si, ganggu gue aja," Shasha mengerling malas menanggapi laki-laki di depannya.

"Galak amat bos," Eric ikut menduduki kursi di samping Felix.

"Lagi sial apa ya gue hari ini, makan di gangguin lo berdua," gadis itu menopang dagunya dengan tangan memperhatikan dua laki-laki di hadapannya.

Sial sekali gadis itu, yang tadinya sendiri jadi harus memperhatikan dua teman laki-lakinya itu memakan pesanannya. Pesanan Shasha memang belum selesai di buat, sementara mereka tadi datang sudah dengan membawa makanan mereka masing-masing.

"Kapan lagi Sha, lo makan di temenin orang ganteng," Eric berucap percaya diri.

"Geli banget ya Tuhan," Shasha bergidik mendengar ucapan Eric.

Shasha menarik tangannya dari atas meja saat seorang ibu kantin menaruh gado-gado pesanannya di atas meja. Gadis itu antusias melihat sayur-sayuran dengan kacang di depannya, ia memang menggilai buah dan sayur. Tidak lupa dengan jus stroberi yang sudah 2/3 karena menunggu makanannya tadi.

"Makanan lo sehat bener gue liat-liat," Felix menatap piring Shasha setelah mengunyah mi ayam pesanannya.

"Makannya kulit gue mulus ga kayak lo," Shasha menjawab sekenanya.

"Pengen marah, tapi ada benernya juga," Felix membalas sebal.

Kulit laki-laki itu sebenarnya mulus dan diidamkan oleh para gadis. Ya, tapi benar kata pepatah bahwa di atas langit masih ada langit. Dibandingkan Felix, semua orang mengakui bahwa kulit Shasha jauh terlihat lebih baik. Kulit gadis itu benar-benar mulus dan terawat hingga orang lain sering berasumsi yang tidak-tidak.

"Din!" Shasha berteriak memanggil Dinda yang baru saja memasuki kantin.

Dinda berlari kecil menghampiri teman sebangkunya itu.

"Ngapain lo makan sama mereka?" Dinda terheran melihat Felix dan Eric yang satu meja dengan Shasha.

"Lo sih lama banget urusannya, langsung ketempelan makhluk astral kan gue," Shasha memberikan ruang untuk Dinda duduk di sebelahnya.

"Namanya juga urusan wanita Sha," Dinda tertawa kecil.

"Cape banget orang ganteng selalu kena hujat," Eric kembali bersuara.

"Pede lo ya Tuhan, tinggi banget ngalahin tinggi badan lo," Dinda menjawab Eric malas.

"Lo kurang ajar ya nenek lampir," Eric membalas tetap dengan mengunyah nasi goreng yang hampir habis.

"Siapa yang lo bilang nenek lampir?!" Dinda bersungut kesal.

Di kelas mereka, Dinda memang seringkali di sebut nenek lampir. Memang yang membuat sebutan itu Eric, tapi anak lain juga setuju saja mengingat segarang apa Dinda yang sering sekali mode senggol bacok.

"Udah-udah berantem mulu, lama-lama gue jodohin lo berdua," Shasha memandang kesal kedua temannya yang mulai menarik atensi orang-orang.

Dinda masih bersungut kesal, namun akhirnya memilih untuk meminum jus yang telah di pesankan oleh Shasha sebelumnya. Di lain pihak, Eric yang memang sedaritadi merasa itu bukan suatu hal besar, memilih duduk tersandar setelah menghabiskan makannya.

Bitter PunchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang