° 10 °

261 58 2
                                        

Gadis itu berjalan dengan wajah yang bisa dibilang tidak bersahabat. Tatapan datarnya benar-benar dingin, memberikan isyarat sedang tidak ingin di ganggu. Daerah itu memang sudah jauh dari area sekolahnya, jadi ia tidak perlu khawatir akan bertemu teman sekolahnya. Ia bisa dengan leluasa menampilkan mood tanpa harus menutup-nutupinya.

Rambut yang dibiarkan terurai untuk menutupi wajahnya, ia mengeratkan pelukan pada tubuhnya merasa aneh hanya memakai seragam sekolah lengan pendek. Insiden yang menimpa sebelumnya mengharuskan ia melepas sweater karena basah, tentu ia melepaskannya setelah jauh dari sekolah.

Gadis itu menyebrangi jalan raya setelah lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Hari ini ia sengaja memilih rute pulang yang lebih jauh dari biasanya, berharap dapat meluruskan pikirannya daripada semakin merasa penat jika langsung pulang ke kontrakan.

Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan sepanjang perjalanan, ia berakhir di depan sebuah bangunan yang tidak terurus. Mengembalikan semua kenangan buruk yang menghantui masa kecilnya. Benar-benar tidak ada yang berubah, dan tidak ada yang peduli juga sepertinya.

"Nak Shasha?" seseorang memanggil gadis itu dengan suara parau.

"Ah nenek apa kabar?" gadis itu menampilkan senyum manis.

"Baik ko, sudah lama sekali ya, kamu mau mampir ke toko?" nenek itu mengelus pundak sang gadis.

Sang gadis berjalan menuntun nenek menuju toko kelontong miliknya yang berada tak jauh dari sana.

Toko itu tak berubah sama sekali, persis seperti terkahir kali ia mengingatnya. Sang gadis duduk manis pada dipan yang memang disediadakan di depan toko, sementara sang nenek masuk ke toko.

"Ini minuman favorit kamu," sang nenek memberikan sekotak susu coklat yang selalu ia beli dulu.

"Terima kasih Nek," gadis itu menerima dan tersenyum lembut.

Shasha kembali menatap nyalang bangunan tadi yang masih bisa tertangkap dari pandangannya. Sekelebat memori datang memberikan sensasi menakutkan yang gadis itu tidak sukai, perasaan bersalah dan traumatis kian erat berada di otaknya.

Sang nenek ikut duduk di samping Shasha dan meraih tangan kanan gadis itu. Mengelus dengan lembut tapat pada bekas luka bakar yang dulu ia obati. Gadis itu memandang sang nenek, sifat dinginnya memang akan hilang jika di hadapan beliau.

Ia ingat bagaimana selama ini hidupnya sendiri. Semenjak lahir ia sudah ditempatkan di panti asuhan, sering di rundung oleh teman seusianya karena yatim piatu. Itulah kenapa ia berakhir mengikuti tinju di sasana sejak menginjak kelas 3 sekolah dasar, itu juga kenapa ia sangat dekat dengan nenek pemilik toko kelontong dekat sasana tinjunya.

Nenek selalu dengan baik hati mengajak ia berbicara dan memperhatikannya jika ia belum di jemput oleh perwakilan panti. Hubungannya dengan sang nenek erat dan penuh kasih sayang walau tanpa ikatan darah.

"Jangan terlalu di pikirkan," nenek berkata masih dengan mengelus lembut tangan Shasha.

Shasha tersenyum. Mengingat bagaiamana khawatirnya sang nenek dulu saat peristiwa itu terjadi.

Gadis kecil itu berlari dengan langkah yang terseok-seok. Ia menghapus air matanya dengan kasar, berusaha mencari bantuan di kawasan yang sepi saat waktu sudah sore seperti itu.

Tatapan matanya beralih menatap seorang nenek yang selama ini perhatian dengannya. Wanita tua itu berada tak jauh darinya, sedang menyapu halaman tokonya dengan sedikit tertunduk.

Saat jarak antara keduanya sudah menipis barulah gadis itu bersuara lirih memanggil, "Nenek.."

Sang nenek terbelalak kaget saat menengok dan segera menjatuhkan sapu di tangannya. Gadis kecil yang sudah menjadi pelanggan tetapnya itu terlihat sangat berantakan. Tampak luka kecil di dahi dan lututnya, wajahnya juga kotor terkena seperti abu.

Bitter PunchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang