Yuan menutup pintu mobilnya, berjalan pelan bersama pikiran yang terarah menuntun kakinya melangkah menuju sebuah tempat yang tanpa sadar ia datangi. Yuan merasa mulai melemah akhir-akhir ini. Setiap kaki berpijak, Yuan mencari sebuah pegangan agar tidak terjatuh.
Seperti sekarang, Yuan harus tertatih dengan pandangan memudar meraih dinding menjadi tongkatnya. Menarik napas lalu menghembuskan perlahan. Yuan sudah berdiri di depan pintu. Menormalkan semua yang ada di tubuhnya, Yuan menekan bel.
Tidak perlu menunggu lama karena pintu otomatis terbuka. Yuan mendorong pintu ke belakang, melepas sepatu lalu jaketnya ia lempar ke sofa. Mendengar suara air dari dalam kamar mandi, Yuan memilih menunggu sembari duduk di meja kerja Milan.
Menyandarkan punggungnya ke belakang, Yuan memutar kursi menghadap jendela dengan pandangan kosong. Suara air yang terdengar dari kamar mandi berubah menjadi tangis yang menyakitkan. Yuan menunduk, menutup telinganya sampai tubuhnya bergetar hebat. Otot lehernya terlihat hingga Yuan kesulitan bernapas.
Tangis itu menjadi menyakitkan. Yuan tidak bisa mengontrolnya. Menghilangkan semua pikiran dan suara yang kini menghantuinya. Sakit sekali sampai harus memperkuat dinding kokoh menutupi rasa menyakitkan dengan pribadi lain.
Yuan memejamkan matanya selama beberapa detik. Mengatur semua panca Indra kemudian menyandarkan tubuhnya kembali. Menarik napas, menghembuskannya perlahan. Yuan tersenyum, memutar kursi menghadap meja.
Membuka laptop kemudian membaca semua berkas yang ada di sana. Ekspresi sakit itu berubah menjadi semangat dalam satu kedipan mata. Memfokuskan membaca beberapa email yang masuk.
Milan melihatnya. Perubahan itu. Ia hanya berdiri mematung di depan pintu tidak tahu harus bersikap dan berekspresi seperti apa. Milan merasa ada satu yang hilang dalam hidupnya. Menghembuskan napas pelan, Milan berjalan mendekati Yuan.
"Ngapain?"
Yuan menatap Milan singkat. "Produksi kita udah sampai mana? Lo yang batalin kerjasama sama label Ebert?"
Milan terdiam. Berdiri di depan Yuan menatap sahabatnya pedih. "Nggak."
"Ini ada email masuk, katanya kita yang batalin,"
"Lo yang batalin. Bukan gue."
Yuan terdiam. Gerakan tangannya terhenti. Suasana mendadak sunyi penuh ketegangan dan juga pertanyaan. Yuan tertawa pelan, mengusap belakang kepalanya. Kemudian ia menatap Milan, tersenyum kecil sambil berkata. "Kapan?" Tanyanya pelan.
Milan tidak menjawab. Meninggalkan Yuan menuju lemari baju. Milan memakai bajunya tanpa memperdulikan Yuan. Entah siapa yang ada dalam diri Yuan saat ini, Milan tidak perduli. Hanya satu yang Milan tidak suka, ada pribadi yang egois mengambil bagian yang harusnya bukan miliknya. Pribadi yang mengambil alih menyiksa peran utama.
Yuan duduk diam di kursi. Tampak bingung apa yang sebenarnya terjadi. Mengabaikannya, Yuan kembali fokus ke laptop. Membuka beberapa email sampai ia temukan sebuah email yang berbeda dari yang lainnya.
Awalnya Yuan tidak ingin membukanya, tapi ia penasaran. Sampai akhirnya senyum Yuan perlahan menghilang. Gerakkan tangannya menjadi lambat dan gemetar. Matanya jauh lebih fokus dari sebelumnya. Debaran jantung yang memburu membuat Yuan menutup laptopnya.
Milan menoleh kaget. "Kenapa?"
Yuan menoleh pelan, menatap Milan kaku lalu menggeleng takut. Menarik rambutnya kasar, Yuan berjalan tertatih menuju kamar mandi.
Milan menatap bingung. Mendekati meja kerjanya membuka laptop. Ia menghembuskan napas pelan sambil melihat pintu kamar mandi yang tertutup. Foto Aqilla memenuhi layar laptop. Yuan membuka email yang tidak seharunya Yuan lihat. Orang suruhan Yuan selama ini mengirimkan foto Aqilla ke email milik Milan. Tidak ada satupun foto yang bisa Yuan dapatkan tanpa izin darinya. Pencarian mereka hanya bisa menemukan beberapa foto Aqilla yang di ambil secara diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYBOY [COMPLETE]
Teen Fiction"Karena kematian tidak selalu identik nyawa yang menghilang, tapi juga kebahagiaan." Kisah perjalanan cinta seorang buaya darat. Menemukan cinta sejati ataupun jadi diri.