Aqilla dan Milan sudah duduk di sebuah kafe terbuka pinggir jalan. Di bawah terik matahari yang terhalang atap kayu. Ada dua pohon besar yang membuat kafe tersebut terlihat teduh. Keduanya terdiam lama tidak ingin bicara. Milan masih menyelami keterkejutannya dan menerima fakta baru yang ia pikir selama ini salah. Aqilla mengandung anak dari Yuan. Milan tidak perlu meminta bukti karena wajah gadis kecil di pangkuan Aqilla saat ini sangat mirip seperti Yuan kecil. Milan seolah bernostalgia dengan wajah Yuan versi perempuan.
Saat Milan mengatakan tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga sahabatnya, Milan melakukannya. Ia berlari tanpa alas kaki karena tidak ingin berpihak pada siapapun. Milan tidak mencari kebenaran. Kenapa baru sekarang Milan merasa menyesal. Saat gadis kecil itu sudah berusia dua tahun. Yuan melewatkan masa-masa pertumbuhannya.
Penyesalan akan selalu datang di akhir bagian. Milan tersenyum, menatap punggung kecil yang menghadap Aqilla tidak berani menatapnya. Rambut kecoklatan yang di kucir dua. Milan belum melihat lebih dekat karena Aqilla masih tidak ingin menunjukkan wajah anaknya.
"Gue temuin ini," Milan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Meletakkannya di meja lalu mendorongnya ke hadapan Aqilla. "Waktu lo pingsan di depan gedung dua tahun lalu,"
Aqilla terdiam, memeluk erat Anacea. Rasa sakit yang Aqilla pendam muncul lagi saat melihat test pack di hadapannya. Mengingatkan Aqilla ketika ia putus asa dan menyerah.
"Lo mau apa?" Tanya Aqilla bergetar. Matanya berkaca-kaca.
"Amora harus tau kalau dia pu-"
"Nggak." Aqilla memotong kalimat Milan cepat. Jantungnya berdegup kencang. "Dia nggak perlu tau."
"Dia butuh ayah."
"Anak aku nggak butuh ayah." Kaya Aqilla bergetar. "Aku nggak pernah ganggu hidup kalian. Jangan ganggu hidup aku."
Milan terdiam. Setiap kata yang terucap dari bibir Aqilla seperti sebuah pisau. Ada dendam, sakit, kecewa dan menyerah. Milan tahu jika Yuan sudah keterlaluan. Tapi Yuan tidak sepenuhnya salah. Yuan tidak tahu kebenarannya.
"Amora butuh lo," Ujar Milan lemah.
Aqilla membuang wajahnya, menghapus air matanya cepat sembari tertawa sakit. "Aku nggak butuh dia."
"Aqilla-"
"Aku bukan barang yang di cari saat kalian butuh. Jangan masuk dalam kehidupan aku. Jangan ganggu apa yang sudah dia tinggalkan dan jangan mengambil apa yang sudah dia buang."
Milan menunduk sebentar lalu menatap Aqilla teduh.
"Dimana dia saat aku butuh?" Tanya Aqilla parau. Tidak bisa menyembunyikan isak tangisnya lagi. Sakit sekali ketika seseorang membahas apa yang sudah Aqilla tutup rapat. Aqilla membangun dunianya lagi, tolong jangan ganggu hidupnya.
Merasakan tubuh Aqilla bergetar, Anacea mendongak. Memeluk Aqilla lebih erat dengan bibir kecil yang ingin menangis. Menekan pipinya ke dada Aqilla.
"Di saat aku hampir gila dengan semua yang dia lakukan. Apa yang udah aku bangun hancur karena dia. Apa yang aku percaya di rusak oleh dia." Air mata Aqilla jatuh. "Aku bukan pelacur yang paginya di tinggal pergi tanpa dosa. Aku tidak menuntut tanggung jawab kalian sekarang, jadi jangan ganggu kehidupan yang sudah aku bangun dari rasa sakit yang dia ciptakan."
"Mama," Anacea tidak bisa lagi menyembunyikan tangisnya.
Aqilla memeluk Anacea. Menghapus air matanya cepat. "Mama nggak papa," Katanya menenangkan. Aqilla berdiri, menggendong Anacea.
Milan mengusap wajahnya. Membiarkan Aqilla menenangkan Anacea terlebih dahulu.
Setelah Anacea sedikit tenang. Aqilla menatap Milan tajam. "Jalani kehidupan yang kalian pilih. Permisi."
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYBOY [COMPLETE]
Novela Juvenil"Karena kematian tidak selalu identik nyawa yang menghilang, tapi juga kebahagiaan." Kisah perjalanan cinta seorang buaya darat. Menemukan cinta sejati ataupun jadi diri.