"Saya tidak mau dan saya tidak peduli!"
Bahu Zulfa merosot seketika, entah sejak kapan air mata sudah jatuh membasahi pipinya. Ini pertama kalinya ia nangis di hadapan Farel, laki-laki yang berstatus menjadi suaminya. Matanya menyorot lurus memancarkan tatapan memohon yang teramat dalam. Sungguh, sekali saja ia harap keberuntungan berpihak padanya.
"Aku mohon, Mas.."
Farel menatap tajam ke arah Zulfa. Ia berdecih lalu mengacak rambutnya kasar. Ia benar-benar muak dengan segala tingkah gadis ini. "Kamu pergi saja sendiri, saya sibuk."
Zulfa menahan sesak di dadanya. Hampir setiap hari mereka berantem karena hal yang sepele. Ia sudah menunggu selama ini sampai jam menunjukkan waktu tengah malam, namun Farel masih saja tidak pernah menganggap dirinya ada. Ia hanya menginginkan laki-laki itu untuk mengobrol dengan keluarganya, hanya itu.
"Sekali aja, Mas. Aku mohon."
"Tidak perlu memohon seperti jalang."
"Mas, jaga ucapan kamu!"
Semakin Zulfa diam, Farel semakin bertindak seenaknya. Ia marah, namun selalu tidak bisa pergi menjauh. Ingat tentang perjanjian pernikahan yang mereka ucapkan sewaktu mengucapkan ijab kabul.
"Kamu semakin hari semakin merepotkan, Fa." Ucap Farel seraya melepas jaket yang melekat di tubuhnya. Ia mengacak rambutnya merasa tersudut di posisi seperti ini. Ia sangat tidak siap untuk bertindak layaknya seorang menantu, mungkin ia tidak akan pernah siap.
Deg
Dada Zulfa seakan sakit. Tadi ia disamakan seperti jalang, dan sekarang menurut laki-laki itu dirinya sangat merepotkan?
"Lagipula aku memakai tabungan sendiri, Mas."
"Saya tidak bertanya."
"Sekali aja, Mas. Buat kita."
"Kita? Ingat ya, Fa. Di dalam hidup aku itu tidak akan pernah muncul kata kita. Jangan terlalu memaksakan takdir."
Zulfa menutup mulutnya, menahan supaya suara tangisnya tidak keluar semakin kencang. Ia tidak ingin mengganggu para ART yang berada di rumah ini. "Kamu, Mas. Kamu yang selalu memaksakan takdir."
Farel berdecak. Ia paham pasti Zulfa ingin membawa nama Rani dalam pertengkaran mereka kali ini. Ia tidak suka. Rani tidak pantas untuk di salahkan, dan tidak ada siapapun yang pantas. Kecuali Zulfa, dia sudah merusak segalanya.
"Berhenti, Fa. Saya muak."
"Asal besok Mas mau ke rumah ibu aku."
Zulfa menatap dalam sorot mata Farel, ia hanya ingin menyampaikan lewat tatapan itu jika dirinya benar bersungguh-sungguh.
"Berisik kamu."
"Aku mau Mas menemani diriku besok, seharian. Aku tidak menerima penolakan."
"Saya ada janji dengan Rani."
Zulfa menghapus air matanya dengan perlahan lalu tersenyum manis. Sudah cukup ia berdiam diri, jika ada yang patut untuk di perjuangkan, ia akan memperjuangkan Farel. Ia akan mengalahkan Rani.
"Aku tidak peduli, Mas. Aku sudah menyiapkan air hangat jika kamu ingin mandi, pakaianmu sudah aku siapkan."
Setelah berbicara seperti itu, Zulfa meniduri dirinya di kasur king size. Memasuki alam mimpi tanpa ingin memperpanjang masalah ini. Ia tidak lelah, ia hanya mengalah untuk kebaikan.
"Egois." Gumam Farel sambil memutar bola matanya. Lihat saja besok, ia tidak akan melakukan apa yang disuruh Zulfa padanya. Memangnya siapa gadis itu? Oh iya, istrinya ya? Ah masa bodo toh dia tidak menganggap keberadaan Zulfa sama sekali.
Sekali benalu tetap benalu.
Rani masih menjadi prioritasnya, bukan Zulfa. Memangnya mudah untuk melupakan seseorang yang sudah sangat berharga di hidupmu?
...
Haiii
Update lagi nih aku
Gimana kabarnya?
Udah lebarannya?
Pacar ke rumah gak?
"Enggak kak!"
Yah kalah dong sama aku 🤭
Maaf wkw, yaudah
HAPPY READING
ENJOY❤️✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Marriage [TERSEDIA DI WEBNOVEL]
Storie d'amoreDI ROMBAK! DAN DI TERUSKAN KE WEBNOVEL DENGAN JUDUL 'KEEP THE MARRIAGE' terimakasih guys, love you all! ⚠️ prepare your hearts I'm not responsible for what you feel later. Tentang pelakor / di pelakorin? "Mas?" "Jangan panggil saya dengan sebutan se...