Kini gadis yang memiliki rambut sebahu itu tengah fokus dengan hobinya di halaman belakang rumahnya. Dengan cepat dan tepat anak panah Awa selalu tepat pada sasaran.
Ketika Awa sedang sedih, marah ataupun kesal, ia selalu mengalihkan semua itu dengan memanah, terkadang ia juga membidik sambil menangis, mungkin itu juga karena faktor dari bertengkar bersama kakak-kakaknya atau disekolah ada masalah ataupun sedang kecewa dengan Bara.
Awa meletakkan busur, anak panah dan arm guard nya di tempat ia biasa meletakkannya. Awa mengusap wajahnya kasar dan mengusap matanya yang selalu mengeluarkan air mata itu. Dia menelan salivannya susah payah lalu menunduk dan memanggil mamanya. Awa tak berani menangis di dalam rumah karena pasti kakak-kakaknya akan mengganggunya. Sedangkan jika ia menangis disini, sudah bisa dipastikan tak ada yang berani menyentuhnya.
Seketika ia beranjak masuk ke dalam rumah untuk memebersihkan badannya karena sudah sore.
"Bonyok nanti pulang! Masakin sesuatu!" Perintah Mika yang diangguki oleh Awa, namun Awa sama sekali tak menatapnya dan melenggang menuju kamarnya.
Mika mencekal pergelangan tangan Awa "Lo dengerin gue ga sih!? Gue itu kakak lo ya! Kalau diajak ngomong itu ngadep orangnya!" Sentak Mika penuh amarah, namun ditanggapi santai oleh Awa yang sudah terbiasa.
Awa menghela napasnya berat "Kapan gue masaknya kalau lo nyekal tangan gue terus gini?" Awa berbicara dengan tatapan malas membuat Mika dengan kasar menghempaskan tangannya.
Awa menjatuhkan tubuhnya di ranjang, dan lagi-lagi air matanya menetes. Jujur hari ini dia sangat sensitif, biasanya ia tak pernah menangis jika dibentak oleh kakaknya, tapi hari ini memang moodnya sedang tidak baik.
Awa mencoba mengatur napasnya sambil terus melihat langit-langit kamarnya "Lo bisa Wa!" Ucapnya menyemangati dirinya sendiri. Dengan segera ia masuk ke kamar mandi.
Setelah membersihkan badannya Awa segera turun menuju dapur untuk memasak. Ia memasak pasta, ayam bumbu dan rendang karena orang tuanya akan pulang malam ini.
Di rumahnya memang tak ada art, alasan mamanya tak mempekerjakan art adalah karena ada 5 orang perempuan dalam keluarga ini yang jelas bisa menyelesaikan tugasnya masing-masing dengan mudah.
Setelah semua makanan sudah siap di pantry mama dan papanya datang dengan diikuti asisten mereka yang membawa koper dibelakang mereka.
Awa langsung menubrukkan dirinya pada wanita paruh baya yaitu mamanya, mamanya memeluk Awa penuh kerinduan.
"Papa ga dipeluk masa?" Goda Wildan a.k.a papa Awa.
Awa kini memeluk papanya dan dengan lembut papanya mengusap rambut putri bungsunya itu.
Sedangkan ketiga kakaknya malah sibuk membuka oleh-oleh dari mereka, bukannya salim atau menyapa malah rebutan oleh-oleh itulah mereka.
Melihat tingkah tiga putri perempuannya itu membuat Wildan dan Lina menggelengkan kepalanya.
"Waahh siapa ini yang masak? Banyak banget. Mana enak-enak lagi" Puji Lina mengambil tempat duduk di sebelah Awa.
"Kita dong ma" Jawab Melinda percaya diri.
Padahal Melinda sendiri sangat jarang menginjak lantai dapur jika tak ada ortu mereka.
Awa sudah sangat terbiasa dengan kakak-kakaknya, dia sama sekali tak berminat berdebat hanya masalah siapa yang memasak.
"Gimana sekolah kamu Wa? Terus tiap minggu masih latihan kan?" Tanya Wildan menatap putri bungsunya.
"Eum, baik kok pah, tiap minggu tetep latihan kok" Awa menjawabnya dengan senyuman mengembang membuat Lina menghela napas lega. Itu berarti putrinya baik-baik saja selama ditinggal ke Jerman.
"Kalian semua dapet salam dari si kembar" Mendengar perkataan mamanya Awa terlonjak bahagia.
"Aaaa jadi pengen ketemu si kembar Mah, mereka sehat-sehat aja kan disana mah?" Tanya Awa antusias.
Wildan dan Lina terkekeh melihat respon Awa yang sangat berlebihan "Iya sayang, Katanya kalau libur semesteran, aunty catline bakal berlibur kesini" Awa kegirangan seperti anak kecil.
Wajar saja karena Awa sangat menyayangi kedua adik lelakinya itu, mereka yang hanya beda 2 tahun membuat Awa seolah berbicara dengan teman sebayanya saat berbicara dengan adik kembarnya.
Ketiga kakaknya hanya memutar malas bola mata mereka melihat tingkah manja Awa di depan orang tua mereka.
"Oh iya, terus gimana kuliah kalian kak?" Tanya Lina pada ketiga perempuan yang ada di seberangnya.
"Baik kok ma" Jawab Mika.
"Kalian ga pernah bolos kan kalau ga ada kita?" Intro papanya pada ketiga gadis di depannya.
"Ya nggak dong pa" Jawab Melinda penuh percaya diri.
Sedang Awa yang mendengarnya rasanya ingin muntah, jangankan bolos kuliah, kakak-kakaknya bahkan terkadang hanya datang 1 pertemuan dalam seminggu, itu pun mereka sama sekali tak ada niat berangkat. Mereka kuliah hanya saat dosen killer yang kenal dengan ortu mengajarnya.
Jika pertanyaannya adalah mengapa Awa tak pernah mengadu atas perilaku kakaknya selama ini pada mama dan papanya, jawabannya adalah karena Awa tak ingin mengurusi hidup orang yang bahkan suka menindasnya. Ia yakin bahwa keadaan tak akan better jika ia mengadu pada kedua orangtuanya.
"Kata coach kamu mau ada event di Jakarta, kamu udah siap?" Tanya Wildan lagi.
Awa mendongak "Eum, masih Awa pikirin pa, soalnya sekarang menjelang ujian semesteran" Jawab Awa penuh kesopanan.
Papanya beranjak mengusap lembut helaian rambut putrinya "Papa ga akan pernah maksain kalau kamu ga bisa sayang" Setelah mengatakan itu anggota keluarga semua ada di ruang keluarga untuk membagi oleh-oleh tetapi Awa memutuskan biar mamanya saja yang memilihkannya karena ia masih harus mengerjakan tugas.
Selama ini sungguh Awa sangat malas jika harus membuka oleh-oleh bersama ketiga kakaknya, karena itu pasti dia hanya dapat sisa-sisa yang sama sekali tak ia harapkan. Daripada itu terus berulang, Awa mulai saat itu menyerahkan semuanya pada mamanya.
Saat dia sedang sendiri di kamar dan cuaca malam sedang cerah, dia selalu pergi ke balkon kamarnya untuk melihat bintang-bintang yang bertaburan begitu indahnya di atas sana.
Angin malam memang mempunyai dingin yang menusuk membuat bulu kuduk harus berdiri tegang, namun setiap Awa menikmati angin malam dengan pemandangan bintang,dia tak lupa selalu bicara pada langit, pada angin agar semua rasa rindunya tersampaikan pada sang empu.
Semilir angin itu menenangkan menurut Awa, mungkin memang takdir ia dilahirkan untuk menyukai angin?
Buktinya. Mulai dari namanya yang berarti angin yaitu 'Pawana', lalu olahraga yang yang sangat ia sukai juga berhubungan dengan angin. Seorang pemanah tidak sembarang memanah asal sampai sasaran, 'angin dan hati harus searah, karena itu yang menentukan anak panahmu akan jatuh dibagian mana, bukan hanya ketajaman mata' itu yang dikatakan oleh seorang coach asal luar negeri dari buku teori memanah yang selama ini ia pelajari.
Ini part onenya. Moga suka ya...
Masih belum pro soal dunia kepenulisan.
Jangan lupa vote + comment sebanyak-banyaknya spy aku semangat nulisnya.
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Name is Awa
Teen FictionAku, seorang gadis ceria yang pura-pura bahagia. Sampai akhirnya dia mendekat dan menjadikan kepura-puraan ini menjadi nyata. Tangannya yang dengan tulus menggenggam tanganku. Dia yang merelakan dadanya untuk tempat ku menangis tersedu-sedu. Saat di...