Awa mengusap air matanya di depan cermin kamarnya, namun air matanya tetap mengalir walau dia sudah menghabiskan puluhan lembar tisu.
Awa terduduk di lantai sambil memegangi lututnya.
Kenapa kakaknya tega melakukan semua itu.
Flashback on
Awa yang saat itu sedang ngobrol santai di meja bar bersama Bara dipandangi sinis oleh Melinda yang kebetulan ada di cafe itu.
"Emang mau ngomong apa sih Kak?" Kepo Awa sudah mulai antusias
"Sabtu kita keluar ya, lo bisa kan kesini?"
Jantung Awa rasanya diremas-remas.
Awa hanya mengangguk sambil menahan senyumnya.
"Oh jadi lo suka kesini makanya sering pulang telat!?" Labrak Melinda mencengkram lengan Awa.
Awa sama sekali tak menyangka kakaknya bisa main sejauh ini sampai ke cafe ini.
Awa menangkis tangan Melinda lalu segera turun dari kuris bar.
"Kakak ngapain sih ngatur-ngatur hidup gue? Emang kakak peduli?" Balas Awa.
Melinda ingin mencengkram lengan Awa lagi namun tangannya di cekal oleh Bara.
"Awa ga salah Kak, saya yang ngajak dia kesini" Jelas Bara.
Melinda meneliti penampilan Bara dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu menghempaskan kasar tangan Bara.
"Pacar lo?" Tanya Melinda pada Awa sambil menunjuk Bara remeh.
"Kak sa—"
"Gausah panggil gue kakak ya, gue bukan kakak lo!" Maki Melinda menatap tajam Bara yang berusaha menjelaskan keadaan.
Awa langsung menarik Melinda keluar cafe namun Melinda masih menatap Bara remeh.
"Selera adik gue rendah juga ya" Ucap Melinda sambil tersenyum smirk ke arah Bara.
Kini mereka berdua ada di dalam mobil, Melinda memutuskan untuk membawa Awa pulang dan meninggalkan teman-temannya di cafe.
"Lo pacaran sama si pelayan itu?" Tanya Melinda dengan nada remeh.
Napas Awa masih memburu dan ia juga berusaha keras menahan air matanya.
"Inget ya Wa! Lo itu anak dari pengusaha terkenal di Bandung, untung papa gue masih nganggep lo anak, jadi pacaran itu milih-milih! Jangan yang kelasnya ada di bawah lo apalagi pelayan, malu-maluin keluarga banget ya lo!" Awa masih mendengar itu semua dengan kesabarannya.
Tangan Awa rasanya gemetar ingin menampar pipi Melinda, namun ia masih punya etika dan masih menganggap Melinda adalah kakaknya.
Hati Awa rasanya tercabik-cabik ketika mulut Melinda mengeluarkan kata-kata kejam itu di depan Bara.
Melinda yang menganggap Bara rendah dan tidak pantas untuknya, Melinda yang selalu mementingkan kelas daripada perasaan.
"Papa ga pernah ngajarin anaknya untuk liat kelas orang lain, karena mama juga berasal dari kelas rendah, dan cinta tidak memandang semua itu" Kata Awa jelas penuh penekanan.
"Itu kan papa, kita sebagai anak-anak nya harus bisa jaga image papa supaya gak dipandang rendah cuma karena anaknya temenan sama pelayan cafe"
"Papa ga pernah nglarang gue temenan sama siapa pun, dan pernyataan yang baru aja kakak bilang, haha, mungkin itu hanya berlaku untuk orang ga punya hati kayak kakak!" Melinda dibuat kicep oleh kata-kata Awa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Name is Awa
JugendliteraturAku, seorang gadis ceria yang pura-pura bahagia. Sampai akhirnya dia mendekat dan menjadikan kepura-puraan ini menjadi nyata. Tangannya yang dengan tulus menggenggam tanganku. Dia yang merelakan dadanya untuk tempat ku menangis tersedu-sedu. Saat di...