Kita sama-sama miskin, hanya saja dalam hal yang berbeda-5

6 2 0
                                    

Senja kali ini Bara menghabiskan waktunya disekolah, dia masih sibuk mengelilingi sekolahnya untuk mendata apa saja program adiwiyata nanti.

Jika ditanya apakah Bara anak adiwiyata? Atau seksi kebersihan? Maka jawabannya adalah tidak, Bara selalu menerima siapapun yang meminta bantuan padanya, selama ia masih mampu untuk melakukannya.

Bu Cahya yang meminta bantuan Bara kali ini, karena kinerja Bara menurut beliau sangat tepat dan cepat, tak terkejut jika dia ketos dari SMP.

Setelah azan maghrib selesai, Bara segera berpamitam dengan Bu Cahya dan melangkah menuju parkiran untuk mengambil motornya.

Memecah jalanan yang lumayan sepi membuat Bara sedikit tenang saat ini.

Saat Bara mulai memasuki gang rumahnya, disana ada beberapa tetangga dengan opini-opini mereka. Bara hanya mencoba menutup telinganya, sebenarnya Bara sudah terbiasa dengan itu, namun tetap saja itu membuat batinnya terluka.

"Si Bara ga kasian ibunya ya"

"Bara kok pulangnya sering jam segini sih"

"Dia kok selalu pulang habis maghrib sih, masih SMA udah pacaran tuh pasti"

"Masih pake seragam lagi"

Ya intinya seperti Itulah suara-suara opini tetangganya yang selalu terdengar setiap dia pulang malam tapi masih memakai seragam.

Setelah memarkirkan motor maticnya, Bara masuk ke rumahnya dengan wajah yang sangat letih.

"Assalamualaikum" Salamnya disambut sang ibu.

"Gausah didengerin omongan tetangga, kayak kamu baru denger ajah" Ibunya menepuk pundak sang putra untuk menyemangati.

Bara mengangguk dan tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

"Ada apa emang pulang jam segini?"

"Disuruh bantuin Bu Cahya data program adiwiyata bu" Jawab Bara lembut.

Ibunya hanya mengangguk dan segera menyiapkan makanan untuk putra sulungnya itu.

Bara memutuskan untuk memebersihkan badannya terlebih dahulu sebelum makan malam bersama ibu dan adiknya.

Setelah beberapa menit Bara dikamar, ia keluar dengan kaos hitam santai dan sweetpants maroon.

Bara mengambil tempat duduk di depan Ibunya, matanya meneliti seluruh ruangan mencari keberadaan sang adik, namun nihil, tak ada adiknya.

"Bima mana bu?" Tanya Bara terus mencari keberadaan adiknya.

"Ada, di kamar lagi ngegambar" Jawab ibunya sambil mengambilkan nasi untuk Bara.

"Ga ikut makan?" Tanya Bara lagi.

Ibunya tersenyum lalu menatap Bara intens "Kamu kaya gatau Bima aja, tadi dia marah-marah karena katanya kamu ga pulang-pulang" Jawab ibunya.

Bara hanya tersenyum singkat lalu segera memakan makanannya, Bima dan ia selisih lima tahun, mesti begitu tak jarang mereka bertengkar setiap harinya, dikehidupan bersaudara, bertengkar merupakan rutinitas yang tak bisa ditinggalkan.

"Kayaknya ibu mau sekolahin dia di sekolah formal aja deh mas" Bara mengehentikan kegiatannya lalu menatap ibunya penuh tanya.

"Dia udah kelas 6 loh bu, nanggung juga, emang kenapa sih? , Bima ga bisa bu kalau sampai disekolahin di sekolah formal, karena itu kan bukan tempatnya" Bima mempunyai kelainan pada cara berpikirnya sehingga selama ini dia disekolahkan di sekolah khusus di daerahnya.

"Sekarang sekolah khusus tambah mahal mas, kalau sekolah formal kan gratis" Bara menghela napasnya kecewa mendengar jawaban sang ibu.

Dia benar-benar seperti tidak ada gunanya hidup jika seperti ini, adiknya yang berkebutuhan khusus harus sekolah di sekolah formal hanya karena biaya?

My Name is Awa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang